Perang Ayah-anak Di Banten, Adakah ?
Untuk menelusuri sejarah, apakah benar ada peperangan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji dan apa motif di balik itu. Dimana peperangannya. Kapan itu terjadi. Dengan siapa-siapa peperangan itu?
Disini penulis akan mengurai sedikit tentang jawaban dari pertanyaan tersebut.
Sebelumnya, Apabila kesulitan menemui fakta sejarah sebuah kejadian di masa lampau oleh karena terbentur referensi dari buku-buku yang memuat sejarah, data primer dan atau sekunder semisal tambo, wawacan dan atau babad sekalipun, dimana buku-buku tersebut memang tidak ada bercerita tentang hal dimaksud, jikapun ada, meski terbilang langka, akan masuk pada data sekunder, hanya penguat data primer dari buku sejarah yang otentik peninggalan masa lalu dan fakta dilapangan. Maka ketika ada sebuah karya sastra, isinya tidak mengurai fakta sejarah, hanya mengetengahkan sebuah kejadian persis terjadi kala itu, dengan menyebut tokoh dan tempat seperti benar-benar itu tokoh dan juga tempat serta kejadiannya, meski faktanya tidak seperti itu. Maka karya sastra berjudul, Agon, Sulthan van Bantam (1769), karya Onno Zwier van Haren (1713-1779), di tulis satu abad setelah kejadian peperangan, tidak jauh dari waktunya, seyogyanya patut dipilih untuk dikaji bahkan diteliti, siapa tahu isinya yang selama ini di cari-cari.
Penulis suguhkan sedikit dari isi karya sastra itu dalam substansinya, tidak seutuhnya. Fakta sejarah, bukan isi dramanya.
Fakta Sejarah
1. Ageng wil zijn jongste zoon Purbaja tot zijn opvolger benoemen. Daardoor ontstaat een gespannen verhouding in de familie. Hadji onderhandelt met de Compagnie.
1. Ageng ingin mengangkat putra bungsunya, Purbaya, sebagai penggantinya. Hal ini menciptakan hubungan yang tegang dalam keluarga. Hadji bernegosiasi dengan Kompeni.
Drama
1. Agon wil zijn rijk verdelen. Daardoor is er tweedracht in het gezin ontstaan. Abdul heeft zijn vertrouweling Steenwijk om hulp naar Batavia gestuurd.
1. Ageng ingin membagi kerajaannya. Akibatnya telah menciptakan perselisihan dalam keluarga. Abdul telah mengirim orang kepercayaannya, Steenwijk untuk meminta bantuan ke Batavia.
Fakta
2. Ageng abdiceert, Hadji volgt op.
2. Ageng turun tahta, Hadji menggantikan.
Drama
2. Agon verdeelt zijn rijk.
2. Agon membagi kerajaannya.
Fakta
3. Ageng wordt door een groot deel van de Bantamse gewesten weer als sultan erkend.
3. Ageng dipulihkan kembali sebagai sultan oleh sebagian besar wilayah Bantam kembali sebagai sultan yang diakui.
Drama
3. Doordat Abdul verraad gepleegd heeft, wordt die verdeling niet geëffectueerd.
3. Karena Abdul melakukan pengkhianatan, pembagian itu tidak akan terlaksana.
Fakta
4. Ageng belegert het kasteel van Hadji, die hulp krijgt van de Hollanders.
4. Ageng mengepung istana Hadji(Surasowan), yang mendapat bantuan dari Belanda.
Drama
4. Abdul wordt gearresteerd, maar krijgt hulp van de Hollanders, met wie Agon in oorlog raakt.
4. Abdul ditangkap, tetapi mendapat bantuan dari Belanda, yang kemudian mengajak Ageng berperang.
Fakta
5. Ageng wordt gevangengenomen; Hadji is van zins hem te doden.
5. Ageng ditangkap; Hadji berniat untuk membunuhnya.
Drama
5. Agon sterft aan de verwonding, hem door Abdul toegebracht.
5. Agon meninggal karena cedera yang dideritanya ditimbulkan oleh Abdul.
Substansi Keaslian Sejarah dalam karya drama "Agon, Sulthan van Bantam", dikomentari pengulasnya, Dr. G.C. de Waard.
Substansi dan Kesimpulan.
Kesultanan Banten merupakan salah satu kerajaan terkuat di Pulau Jawa pada abad ketujuh belas. Pada paruh kedua abad itu diperintah oleh Abul Fathi Abdul Fattah yang tegas dan cakap dalam menjalankan roda pemerintahan, lebih dikenal dengan julukan Ageng (= yang agung). Meskipun dominasi perdagangan East India Company, VOC menjadi duri di dirinya, namun setelah naik takhta pada tahun 1651 tidak ada perubahan resmi dalam hubungan bilateral dengan Batavia yang telah diatur melalui perjanjian persahabatan tahun 1645 oleh sang kakek. Setahun setelah perjanjian ini masuk ke periode kedua telah diperpanjang selama sepuluh tahun, namun Sultan Ageng berkeberatan atas adanya perjanjian itu, ia mulai bermanuver agar ada sebuah perubahan perjanjian. Kompeni menanggapinya dengan memblokade Banten, tentu sangat merugikan kepentingan perdagangannya. Butuh waktu hingga tahun 1659 dimana perjanjian baru akan disepakati kembali, mengingat saat ini sedang berada dalam kondisi perjanjian perdamaian itu.
Perdamaian antara Batavia dan Banten terpelihara selama lebih dari dua puluh tahun. Artinya, Sultan Ageng secara resmi mematuhi ketentuan perjanjian, namun secara diam-diam ia berusaha melemahkan Belanda, termasuk dengan mendukung Makassar (Sulawesi Selatan) yang sudah berkali-kali menunjukkan penolakannya terhadap Kompeni.
Permasalahan antara Makassar dan Kompeni terjadi sekitar tahun 1615, ketika Kompeni menyandera dua orang Makassar – salah satunya adalah kerabat raja – sehubungan dengan hutang sultan. Sejak itu hubungan mereka tetap tegang; perjanjian tahun 1637, 1655 dan 1660 tidak dipatuhi oleh Makassar. Kompeni kemudian memutuskan penyelesaian akhir dan mengirim armada ke Sulawesi pada akhir tahun 1666 di bawah komando Gubernur Jenderal Cornelis Janszoon Speelman. Baru menjelang akhir tahun berikutnya Sultan Malombassa Hasanuddin dapat dipaksa berdamai. Namun Hasanuddin sekali lagi tidak menepati perjanjian tersebut, dan permusuhan baru akhirnya berujung pada penaklukan terakhir Makassar pada pertengahan tahun 1669, setelah Speelman berhasil merebut benteng terakhir, benteng Sambupo. Setelah itu Hasanuddin tidak bisa berbuat apa-apa; atas izin Kompeni ia tetap menjadi sultan Goa, salah satu provinsi di Hindia Belanda.
Hasil ekspedisi melawan Makassar mempunyai implikasi bagi Pulau Jawa. Setelah keberhasilan Belanda, sejumlah besar orang Makasar pindah ke Jawa (awalnya banyak yang tinggal di Banten), dimana mereka lebih banyak menyibukkan diri dengan pembajakan. Mereka menjalin kontak dengan pemberontak penentang susuhunan Mataram, Amangkurat I. Kesulitan di Jawa Timur bertambah ketika raja ini meninggal dan banyak yang tidak mau mengakui putranya sebagai penerusnya. Kompeni terpaksa melakukan intervensi.
Sultan Ageng, yang terus-menerus diupayakan pengaruhnya oleh Inggris agar merugikan Kompeni, kini merasa mempunyai peluang. Ia mendukung para pemberontak dan berusaha menghalangi sunan baru, Amangkurat II, untuk bersekutu dengan Batavia. Ia kemudian mencoba mempengaruhi para pangeran Cirebon yang berada di bawah kedaulatan Mataram. Para pangeran ini, tiga bersaudara, datang ke Banten dijadikan alat tawar sebagai sandera di istana di Banten. Sultan Ageng melepaskan mereka, dengan memberikan syarat bahwa mereka akan didudukkan di wilayah tertentu sehingga akan menimbulkan lebih banyak masalah bagi Kompeni. Wilayah Cirebon dibagi tiga kekuasaan; Kasepuhan, Kanoman dan panembahan. Pada saat yang sama ia mengancam Batavia akan diperangi jika mengganggu Cirebon. Namun, perbedaan pendapat di kalangan keluarga kesultanan Banten memberikan peluang bagi Kompeni, yang terhambat oleh tindakan Sultan Ageng di Jawa Tengah dan Timur, untuk terhindar dari kesulitan tersebut.
Menurut tradisi di Kesultanan atau Papakem Banten, Sang Sultan harus mengangkat putra sulungnya, maka diangkatlah Abun Nashri Abdul-Kahar, sebagai wakil bupati, putra mahkota. Kemudian dikenal dalam sejarah sebagai Sultan Haji, oleh karena ia sedang menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada tahun 1674-1676. Selama ketidakhadirannya di kesultanan, penyelenggara pemerintahan (kira-kira: perdana menteri) Sultan Ageng menerima usulan dari para penasehat untuk mengangkat putra bungsunya, Pangeran Arya Purbaya, - yang merupakan menantu penyelenggara pemerintahan, mangkubumi - sebagai pewaris takhta. Namun, setelah kembalinya pangeran Haji maka terjadi ketegangan hubungan di keluarga kesultanan. Kompeni, yang ingin mengambil keuntungan dari perselisihan tersebut, mengadakan negosiasi rahasia dengan pangeran Haji, agar selalu kawatir akan takhta jatuh pada saudaranya, pangeran Haji pun merasa cemas juga. Namun, keadaan tiba-tiba berubah menjadi lebih baik bagi putra mahkota, Pangeran Haji, ketika pada tanggal 1 Mei 1680, terjadi perubahan kebijakan dimana istana yang memaksa Sultan Ageng, yang telah memutuskan untuk memulai perang melawan Kompeni, agar mengundurkan diri. Tahta di serahkan pada Pangeran Haji. Alhasil, negosiasi antara Sultan Haji dan Kompeni mengenai perjanjian perdamaian baru pun gagal: karena Batavia mengajukan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi oleh Sultan Haji. Itu sebabnya mereka akan melakukan aturan yang ada tanpa mengadakan perjanjian baru untuk saat ini.
Tak lama kemudian, banyak orang yang merasa tidak puas dengan pemerintahan sultan yang baru; mereka menuju ke arah Sultan Ageng yang sedang berada di istana Tirtayasa. Mereka mengangkat Sultan Ageng dan mendaulatnya setelah sebagian besar provinsi kembali mengakuinya sebagai penguasa mereka bukan Sultan Haji, Sultan Ageng memulai perang melawan putranya pada bulan-bulan pertama tahun 1682, mengepungnya di benteng Surasowan. Benteng ini diperbaharui dengan tambahan batu di lapisan luarnya oleh seorang tukang batu dari Steenwijk, pemberontak Hendrik Laurensz. Cardeel, juga dikenal sebagai Jan Lucasz dimana awalnya benteng ini dibangun pada lapisan dalam menggunakan bata di era Maulana Yusup. Menurut Van Haren, disebutkan, Sultan Haji meminta bantuan Kompeni di Batavia. Pasukan ini mengirimkan pasukan melalui laut ke Banten, di bawah komando Isaäc de Saint Martin, komandan garnisun di Batavia dan dalam kapasitas tersebut menjadi panglima tertinggi tentara Kompeni. Sementara itu, permohonannya baru diterima Gubernur Jenderal Speelman dari Sultan Hadji, setelah berjanji akan memberikan monopoli perdagangan kepada Kompeni dan menanggung biaya yang terkait dengan intervensi tersebut.
Surasowan dapat dikuasai, Sultan Haji di amankan di tahan loji yang di kuasai pasukan Banten. Belanda menawarkan solusi.
Ketika Sultan Ageng tidak menanggapi tawaran mediasi Kompeni dari De Saint Martin, upaya pendaratan pun dilakukan; Namun upaya ini gagal, sehingga perlu dimintakan bala bantuan. Setelah pasukan baru tiba di bawah komando Kapten François Tack, dan upaya lain dilakukan, kali ini berhasil; Pada siang hari (tanggal 7 April 1682), Banten, dalam hal ini Surasowan berhasil ditaklukkan dan Sultan Haji merasa lega. Ia segera mengusir orang Inggris, Prancis, dan Denmark yang berpihak pada ayahnya; mereka diizinkan menetap di Batavia untuk sementara waktu.
Sultan Ageng tidak menyerah untuk meninggalkan pertarungan, sehingga ia dikepung oleh pasukan Tack di Tirtayasa. Ketika dia tidak dapat lagi mempertahankan dirinya di sana, dia melarikan diri bersama Pangeran Purbaja dan loyalis lainnya sebelumnya membumihanguskan istana Tirtayasa, setelah itu ia bergerilya melanjutkan pertempuran dari tempat lain. Pada tahun 1683 dia harus menyerah dengan keadaan sudah tua dan udzur, saat itu usianya 66 tahun. Ia , selama dua tahun di tahan di penjara Banten, lalu dibawa ke Batavia 9 tahun lamanya, disana ia meninggal pada tahun 1692 sebagai tahanan di usia 72 tahun. Atas permintaan cucunya ia dibawa ke Banten, dimakamkan di Kompleks Permakaman Raja-Raja Banten yang berada di sebelah utara Masjid Agung Banten, Banten Lama.
Sultan Hadji menandatangani perjanjian dengan Kompeni pada tanggal 17 April 1684, yang - setelah perjanjian dibuat dengan Mataram (1677) dan Cheribon (1681) - menguasai hampir seluruh perdagangan di Jawa. Sementara Speelman meninggal pada 11 Januari 1684. Benteng Belanda yang dibangun di Banten diberi nama Speelwijk untuk mengenang namanya.
Ada tambahan penulis sebagai pelengkap.
Atas jasa-jasanya yang diberikan kepada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, tanggal 1 Agustus 1970.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga kemudian diabadikan menjadi nama salah satu perguruan tinggi negeri di Banten, yaitu Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Sultan Haji meninggal lebih awal dari ayahnya, tahun 1687 dalam usia 29 tahun.