Satu tahun setelah pengangkatan Pangeran Surya menjadi Sultan Anom yakni tahun 1651, sang kakek, penguasa Kesultanan Surasowan Banten meninggal dunia. Tahta Kesultanan Surasowan Banten, dilanjutkan oleh cucunya, Pangeran Surya alias Pangeran Ratu. Pangeran Surya alias Pangeran Ratu adalah putera Sultan Abulma'ali Ahmad Kanari yang menjadi Sultan Anom sepuluh tahun lamanya (1640-1650).
Pangeran Surya, melanjutkan hubungan internasional dengan dunia luar, terutama dengan kekhalifahan di dunia Islam yang berpusat kala itu di Mekah. Pangeran Surya mengutus beberapa pembesar kerajaan, untuk urusan itu sambil memberitakan pergantian pimpinan di Kesultanan Surasowan Banten dan dunia perdagangan di Nusantara. Sepulang dari Tanah Suci Mekah, delegasi Kesultanan Surasowan Banten, membawa gelar dari Syekh Mekah untuk Pangeran Surya atau Pangeran Ratu, dengan sebutan Sultan Abulfath Abdulfattah.
Selaku penguasa Kesultanan Surasowan Banten, Sultan Abulfath Abdulfattah dikenal tegas dan cakap dalam menjalankan roda pemerintahan. Dia pun berusaha untuk mengembalikan kejayaan Banten seperti pada waktu pemerintahan dua pendahulunya, yakni Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf. Guna mewujudkan harapan tersebut, sultan langsung mengeluarkan sejumlah kebijakan. Antara lain, memajukan perdagangan Banten dengan meluaskan daerah kekuasaan dan mengusir Belanda dari Batavia.
Berkat kebijakannya itu, dalam waktu tidak terlalu lama, Banten telah menjadi kota pelabuhan dagang yang penting di Selat Malaka. Kondisi ini tidak disukai VOC. Mereka lantas memblokade Banten.
Dari sebelum memerintah, sebenarnya Sultan Abulfath telah mengamati bahwa kedudukan Belanda di Batavia pada satu saat nanti akan membahayakan Banten. Dengan monopoli perdagangan VOC di Batavia, tentu sangat merugikan kehidupan perekonomian Banten pada umumnya. Para pedagang asal Cina dan Maluku yang biasanya berlabuh di Banten, dipaksa untuk singgah di Batavia.
Tiga tahun sudah blokade berjalan dan dampaknya kian terasa. Maka dengan terpaksa Banten mengadakan perjanjian dengan VOC yang menyatakan bahwa hak-hak Belanda diakui dan perdagangan Banten dibatasi oleh Belanda. Akan tetapi, beberapa bulan itu, Sultan Abulfath meniadakan perjanjian tadi dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Pada saat bersamaan, Sultan Abulfath juga berkeinginan mewujudkan Banten menjadi kerajaan Islam terbesar. Ada dua hal yang ia lakukan. Pertama, di bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru serta irigasi yang sekaligus berfungsi sebagai sarana perhubungan. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan dan penasehat sultan dalam bidang pemerintahan.
Selain itu, sultan memang terkenal sangat menaruh perhatian bagi pengembangan agama Islam. Oleh karenanya dia menggalakkan pendidikan agama, baik di lingkungan kesultanan maupun di masyarakat melalui pondok pesantren. Agama Islam pun berkembang pesat, terlebih ditunjang dengan banyaknya sarana dan prasarana peribadatan seperti mushala dan masjid.
Di masa pemerintahannya, Sultan Abulfath punya dua orang putra, yakni Pangeran Gusti (yang kemudian bergelar Sultan Haji) dan Pangeran Purbaya. Putra mahkota Atau Sultan Muda adalah putranya yang tertua yaitu Pangeran Gusti. Namun sebelum diserahi tanggung jawab selaku sultan muda, Pengeran Gusti dikirim ayahnya ke Tanah Suci Makkah, guna menunaikan ibadah haji. Ini dimaksudkan agar Pengeran Gusti dapat melihat dari dekat perkembangan Islam di berbagai negara demi meluaskan wawasan bagi pengembangan agama di Banten. Selama Pengeran Gusti berada di Makkah, tugas-tugas pemerintahan untuk urusan dalam negeri, sementara dipercayakan kepada Pangeran Purbaya oleh Sultan Abulfath, karena Sultan Abulfath hanya mengurusi urusan luar negeri saja.
Beberapa tahun kemudian, Pangeran Gusti kembali ke Banten yang kini lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Namun dia melihat peranan yang makin besar dari adiknya dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini memicu pertikaian antara Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, demikian pula antara Sultan Haji dan Sultan Abulfath, ayahnya sendiri.
Sejak Sultan Abulfath bertentangan dengan anaknya, beliau sering pergi ke dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang) dan mendirikan keraton baru. Karena itulah, orang lantas lebih mengenalnya dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa. Sebutan ini menjadi masyhur bahkan di kalangan bangsa asing.
Adanya konflik di internal kesultanan, rupanya tidak luput dari perhatian Belanda. Mereka memanfaatkan kondisi ini dan mendekati Sultan Haji agar menentang kebijakan ayahnya. Belanda juga 'memanas-manasi' Sultan Haji sehingga mencurigai Sultan Ageng Tirtayasa serta menyangka ayahnya kelak akan mengangkat Pengeran Purbaya sebagai sultan.
Kekhawatiran ini membuat Sultan Haji bersedia mengadakan perjanjian dengan Belanda yang intinya adalah persekongkolan merebut kekuasaan dari tangan Sultan Ageng Tirtayasa. Tahun 1681, Sultan Haji mengkudeta ayahnya dari tahta kesultanan.
Sementara itu, Sultan Ageng Tirtayasa setelah penggulingan kekuasaan tersebut, tidak lantas berdiam diri. Beliau langsung menyusun kekuatan bersenjata guna mengepung Sultan Haji di Sorosowan (Banten). Karena terus terdesak, akhirnya Sultan Haji meminta bantuan Belanda. Kaum imperialis ini segera mengirimkan ribuan tentara ke Banten untuk melepaskan Sultan Haji.
Dipimpin Kapiten Tack dan de Saint Martin, Belanda juga menyerang benteng Tirtayasa dan dapat di taklukkannya meski menderita kerugian besar. Akan tetapi sebelum Belanda memasuki benteng tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa sempat terlebih dulu membakar seluruh isi benteng dan lantas melarikan diri bersama Pangeran Purbaya dan pengikutnya. Walau pertahanan terakhir Sultan Ageng sudah jatuh, namun Belanda tidak otomatis dapat memadamkan perlawanan rakyat Banten.
Sultan Ageng masih mengadakan perjuangan secara gerilya. Akan tetapi, lama kelamaan Belanda dapat mendesak mereka ke wilayah selatan. Hingga kemudian di tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap melalui tipu muslihat Belanda dan Sultan Haji. Beliau akhirnya dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya pada tahun 1692.
Atas permintaan pembesar dan rakyat Banten, jenazah Sultan Ageng Tirtayasa dapat dibawa kembali ke Banten. Pemimpin kharismatik ini, dimakamkan di sebelah utara Masjid Agung Banten bersama nenek moyangnya dan bukan di Tirtayasa. Atas jasa-jasanya itu, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1975. Sultan Ageng Tirtayasa Abulfath Abdulfattah memerintah Kesultanan Surasowan Banten dari tahun 1650 hingga tahun 1672.
Sultan Ageng Tirtayasa memiliki banyak putera dari beberapa istri, diantaranya:
- Sultan Haji
- Pangeran Arya 'Abdul 'Alim
- Pangeran Arya Ingayudadipura
- Pangeran Arya Purbaya
- Pangeran Sugiri
- Tubagus Rajasuta
- Tubagus Rajaputra
- Tubagus Husen
- Raden Mandaraka
- Raden Saleh
- Raden Rum
- Raden Mesir
- Raden Muhammad
- Raden Muhsin
- Tubagus Wetan
- Tubagus Muhammad 'Athif
- Tubagus Abdul
- Ratu Raja Mirah
- Ratu Ayu
- Ratu Kidul
- Ratu Marta
- Ratu Adi
- Ratu Ummu
- Ratu Hadijah
- Ratu Habibah
- Ratu Fatimah
- Ratu Asyiqoh
- Ratu Nasibah
- Tubagus Kulon