Ads 468x60px

Rabu, 02 Januari 2013

Maulana Hasanuddin



Seorang Panembahan kelahiran Wahanten (Banten), beralur darah trah Rasul Muhammad, berbaur dengan alur darah trah Sri Baduga Maharaja, melalui ketawakalan dan perjuangan yang berat, akhirnya berhasil mendirikan monumen Islam yang kokoh di Bumi Wahanten. Sebagian besar penduduknya, menjadi pemeluk setia agama Rasul Muhammad.

Dari pernikahan Nyai Kawung Anten dengan Syarif Hidayat, pada tahun 1478 M., Sang Surasowan mempunyai cucu laki-laki. Oleh Sang Surasowan, bayi laki-laki itu diberi nama Sabakinkin. Oleh Syarif Hidayat, diberi nama Hasanuddin.

Ketika ayahanda Nyai Kawung Anten, Sang Surasowan, mertua Syekh Syarif Hidayat, kakeknya Pangeran Sabakinkin atau Maulana hasanuddin wafat, dalam usia terhitung muda, tahtanya diwariskan kepada putranya, Sang Arya Surajaya.

Pada masa pemerintahan Sang Surajaya di Wahanten Pesisir, Syarif Hidayat sudah menjadi pewaris kedua, di Kesultanan Pakungwati Cirebon. Oleh karena itu, Sabakinkin atau Hasanuddin, menjadi penerus ayahnya, menjadi Guru Agama Islam di Wahanten Pesisir. Pada waktu itu, Pangeran Sabakinkin, lebih dikenal dengan sebutan Syekh Maulana Hasanuddin.

Ketenaran Syekh Maulana Hasanuddin, telah mengalahkan kharisma uwanya, Adipati Arya Surajaya. Sehingga hubungan kekerabatan dengan uwanya itu, menjadi tidak harmonis lagi.

Ketika menjadi penyiar agama Islam di Wahanten Pesisir, Syekh Maulana Hasanuddin menikah dengan puteri raja Indrapura, serta memperoleh putera laki-laki, diberi nama Yusuf.

Untuk jaringan politik, antara Kesultanan Pakungwati Cirebon dengan Kesultanan Demak, Syekh Maulana Hasanuddin berjodoh dengan Ratu Ayu Kirana (Ratu Mas Purnamasidi), puteri sulung Raden Fatah. Dari perkawinannya, lahir pertama Ratu Winahon, kelak menjadi isteri Tubagus AngkeBupati Jayakarta (Jakarta). Putera kedua, Pangeran Arya (Pangeran Jepara), yang menjadi anak angkat Ratu Kalinyamat dari Jepara.

Di Wahanten Girang terjadi kekosongan pimpinan wilayah, ini dikarenakan Sang Adipati Surajaya beserta pengikutnya mendapat serbuan dari balatentara gabungan Pakungwati dan Demak, sehingga mengungsi kedaerah Bogor. Dan atas inisiatif Ki Bagus Molana, akhirnya Wahanten Girang bergabung dengan Wahanten Pesisir. Dengan demikian, Pangeran Sabakinkin Adipati Syekh Maulana Hasanuddin, berkuasa atas dua wilayah kerajaan: Wahanten Pasisir dan Wahanten Girang. Akhirnya Pangeran Sabakinkin dinobatkan kembali, dan memperoleh gelar Panembahan. Pengertian Panembahan, adalah tokoh ulama besar Islam yang sangat dihormati, merangkap jadi penguasa.

Pada tahun 1570 M. Panembahan Syekh Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakinkin wafat, meninggalkan para putra dan putri:
  1. Ratu Pembayun Fatimah
  2. Pangeran Yusuf (Maulana Yusuf)
  3. Pangeran Jagaraksa/Arya Japara
  4. Pangeran Sunyararas
  5. Pangeran Pajajaran
  6. Pangeran Pringgalaya
  7. Pangeran Sabrang Lor
  8. Ratu Keben
  9. Ratu Terpater
  10. Ratu Biru
  11. Ratu Ayu Arsanengah
  12. Pangeran Pajajaran Wado
  13. Tumenggung Wilatikta
  14. Ratu Ayu Kamudarage
  15. Pangeran Sabrang Wetan



Kuncen Cikadueun Keramat



Kuncen Cikadueun Keramat

Dalam tulisan ini penulis mengumpulkan data mengenai tokoh-tokoh yang pernah dan masih menjabat sebagai pengurus/kuncen Keramat Cikadueun di Pemakaman astana Uyut Manshur yaitu:

Pertama dipegang oleh KH. Ya'qub bin 'Adnan pengurus yang di tunjuk langsung oleh KH. Ruyani Kadu Pinang, sebagai asal mulanya atas titah dalam Tawajjuh beliau bahwa, di pemakaman Cikadueun ini bersemayam jasad seorang tokoh yang amat di cari dan di muliakan juga sebagai garis keturunan dari Kerajaan Banten, dilanjutkan hanya sebentar oleh Ki Asiri dan selanjutnya dipegang oleh H. Nur Dinuri, seorang keturunan Pangeran Astapati mantan pegawai bank berkantor di Saketi. Kemudian pada KH. Zuhri bin KH. Ya'qub hingga dipasrahkan pada warangnya (besan. sunda) bernama H. tb. Muhammad Arif, hasil pertikahan putra keempat dari KH. Zuhri ini yang bernama KH. Zaenuddin nikah bersanding dengan putri H. tb. Muhammad Arif yang bernama Hj. rt. Habibah.

Selanjutnya tampuk pemegang jabatan kuncen di serahkan pada H. Husni bin H. Nur Dinuri, sebab karena KH. Zaenuddin Zuhri menyerahkan padanya hanya untuk beliau (H. Zen panggilan lainnya) agar fokus pada pendidikan umat saja, dan ini di realisasikannya sehingga tampuk jabatan kuncen seharusnya padanya beliau serahkan pada H. Husni.

Di dalam memegang  jabatan kuncen. Ende Husni, panggilan untuk H. Husni bin H. Nur Dinuri berlangsung agak lama hingga meninggal dan selanjutnya dipegang oleh H. Entus Arip Hidayat bin H. tb. Muhammad Arif , dilanjutkan oleh H. Iyus yusron bin H. Husni seterusnya pada H. Uju 'Izzuddin bin H. Yasin asal Kd. Mernah mantu dari H. Husni tersebut yang menikah dengan Hj. Eneng. Setelah meninggal H. Uju 'Izzuddin, tampuk pemegang jabatan sebagai kuncen belum ada kata sepakat siapa yang harus memegangnya, berhubung Dinas kepurbakalaan menyerahkan SK. (Surat Keputusan) pemegang keKuncenan pada tb. Apuk bin H. Iyus Yusron dan sebagai yang kedua adalah KH. Hafid Zuhri putra bungsu KH. Zuhri Nawawi bin KH. Ya'qub. Dan dalam masa kefakuman ini jabatan Kuncen sementara dan tidak sepenuhnya dipegang oleh ace Sopiyan bin Ace Marzuq (sekarang)

Allahu a'lam.

Senin, 31 Desember 2012

Maulana Syarif Hidayatullah





Dari perkawinannya Syarif Abdullah dengan Syarifah Muda'im (Nyai Larasantang), mempunyai anak dua orang, di antaranya masing-masing ialah: Syarif Hidayat lahir pada tahun 1370 Saka (1448 Masehi). dan Syarif Nurullah namanya.

Sesudah Syarif Hidayat menjadi pemuda, baru berusia dua puluh tahun, bersikap saleh dan ingin menjadi guru agama islam. Oleh karena itu pergi dari Mekah. Di sana berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri, lamanya dua tahun. Pada waktu itulah, dari Syekh Athoillah as-Sakandary as-Syadzili, ia mengetahui nama anutan madzhab Imam Syafi'i. Selesai dua tahun.

Selanjutnya pergi ke kota Bagdad. Di sana berguru tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara ayahnya. Selanjutnya pulang ke negeri Mesir. Syarif Hidayat sudah mendapatkan banyak nama, yaitu Sayid Kamil, Syekh Nuruddin Ibrahim ibnu Maulana Sultan Mahmud al-Khibti nama lainnya.

Kemudian Syarif Hidayat pergi ke Pulau Jawa. Dalam perjalanannya, singgah di Gujarat. Tinggal lamanya di sana tiga tahun.

Ketika singgah di Gujarat, Syarif Hidayat bertemu dengan Dipati Keling, bersama 98 anak buahnya, kemudian masuk agama Islam dan menjadi muridnya. Kemudian mereka berlayar bersama-sama, menuju Pulau Jawa.

Dalam perjalanan ke Pulau Jawa, singgah di negeri Pasai. Di sana Syarif Hidayat tinggal di Pesantren saudaranya, yaitu Sayid Ishak yang menjadi guru agama Islam di negeri Pasai, Sumatera. Di negeri Pasai ini, Syarif Hidayat tinggal selama dua tahun.

Selanjutnya Syarif Hidayat alias Sayid Kamil, singgah di Banten tepatnya di Banten pesisir, mengajarkan agama Islam di sana, berjodoh dengan puteri Adipati Banten, Nyai Kawung Anten. Alasan sesungguhnya Syarif Hidayat singgah di Banten ini ingin bertemu dengan Ali Rakhmatullah.

Setelah ada habar bahwa yang bersangkutan berada di lain tempat, maka Syarif Hidayat pergi ke Ampel, naik perahu orang jawa timur. Pada waktu itu para Wali ada di sana, masing-masing mengemban tugas yang di amanatkan.

Syarif Hidayat bersilaturahmi dan berkenalan dengan para Wali yang berada di Jawa Timur. Selanjutnya, Syarif Hidayat atau Sayid Kamil bersama Dipati Keling dan anak buahnya, berlayar menuju Cirebon. Kunjungan ke Cirebon ini dalam rangka untuk mengunjungi uwanya (kakak ibunya), Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, penguasa Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon.

Di sini Syarif Hidayat menemui uwanya, dan alangkah sukacitanya Sri Mangana, ketika di temui oleh anak adiknya (suwannya) itu.

Begitu pula Syarif Hidayat sangat gembira, dapat bertemu dengan uwanya yang telah berhasil mendirikan Kerajaan Islam pertama, di Kerajaan Sunda. Akhirnya Syarif Hidayat bersama bersama Dipati Keling serta 98 anak buahnya, di tempatkan di Giri Sembung Amparan Jati (Gunung Jati). Syarif Hidayat di beri jabatan sebagai Guru Agama Islam di Pondok Quro Amparan Jati, sebagai pengganti Syekh Datuk Kahfi. Syarif Hidayat berjodoh dengan kakak sepupunya, Nyai Mas Pakungwati.

Di Giri Sembung, Syarif Hidayat disebut Maulana Jati atau Syekh Jati sebutan lainnya. Selanjutnya mengelola pesantren itu. Setelah beberapa lama kemudian, semua penduduk berguru kepada Sayid Kamil. Adapun Syarif Hidayat, yaitu Sayid Kamil, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Susuhunan Jati atau Sunan Cirebon nama lainnya. Sembilan tahun sudah ia berada di Pulau Jawa.

Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, mempunyai penilaian tersendiri kepada Syarif Hidayat. Demi untuk kepentingan penyebaran Islam, Sang Tumenggung mewariskan tahtanya, kepada suwan yang sekaligus menantunya, Syarif Hidayat.

Syarif Hidayat dilantik menjadi Raja Cirebon oleh uwanya Pangeran Cakrabuana, sebagai Tumenggung Kerajaan Cirebon, dengan gelar Susuhunan Jati.

Syarif Hidayat menjadi raja mahardika, memerdekakan diri dari naungan Sunda Pajajaran di bumi Jawa Barat. Pada waktu itu, para Wali Sanga di Jawa Timur, menyambut gembira menyerukan pujian atas penobatannya, dan semua memberikan dukungan.

Semua pimpinan masyarakat desa di Cirebon sangatlah sukacita. Pejabat penguasa daerah, pesta meriah, mengadakan syukuran di Paseban Keraton Pakungwati.

Untuk mengukuhkan penobatan Susuhunan Jati, dilakukan oleh para Wali dari Jawa Timur, yang dihadiri pula oleh Raden Fatah sebagai Sultan Demak. Mereka hadir di Keraton Pakungwati Cirebon, disertai armada laut dan balatentara Kesultanan Demak, yang dipimpin oleh Panglima Fadhillah Khan.

Kemudian Wali Sanga menganugrahi gelar kekuasaan kepada Susuhunan Jati menjadi Panetep Panatagama rat Sunda i Bhumi Jawa Kulwan (Panetep Panatagama kawasan Sunda di Bumi Jawa Barat) berkedudukan di negeri Cirebon.

Karena tanpa persetujuan pemerintahan pusat (Pakuan Pajajaran), Sri Baduga Maharaja mengutus Tumenggung Jagabaya bersama pasukan pengawalnya, untuk menertibkan dan mengatasi keadaan di Cirebon.

Ketika Tumenggung Jagabaya beserta pasukan pengawalnya tiba di Cirebon, mereka disergap di Gunung Sembung oleh pasukan gabungan Cirebon-Demak yang dipimpin oleh Senapati Demak Fadhillah Khan. Tumenggung Jagabaya dan pasukan pengawalnya, akhirnya masuk agama Islam.

Karena Tumenggung Jagabaya serta pasukan pengawalny, lama tidak kembali ke Pakuan, Sri Baduga Maharaja segera mempersiapkan angkatan perang besar Kerajaan Sunda Pajajaran. Akan tetapi, niatnya untuk menyerang Pakungwati Cirebon, dapat dicegah oleh penasihatnya Ki Purwagalih.

Ki Purwagalih mengungatkan kepada Prabu Siliwangi, bahwa:
Syarif Hidayat, adalah cucunya sendiri dari Larasantang.
Syarif Hidayat, adalah menantu Walangsungsang, atas pernikahannya dengan Pakungwati.
Penobatan awal Syarif Hidayat, atas kehendak Pangeran Cakrabuana, puteranya sendiri.

"Betapa tidak terpujinya, Sang Kakek memerangi cucunya," Inilah yang dinasihatkan oleh Ki Purwagalih kepada Sri Baduga Maharaja.

Syekh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayat, berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka. Di makamkan di Cirebon tepatnya di Gunung Sembung/Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat pada usia 120 tahun.

Beliau mempunyai beberapa istri diantaranya:
  1. Nyai Kawunganten puteri Sang Surasowan (Bupati Banten dari Pajajaran, yang berada di Banten Pesisir) atau adik Sang Surajaya, menikah sekitar pada tahun 1470-1480 Masehi dan berputera: Ratu Wulung Ayu/Ratu Winangon yang lahir tahun 1477 Masehi & Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakinkin, lahir 1478 Masehi.
  2. Dewi Pakungwati, puteri Walangsungsang (uwanya Syekh Syarif Hidayat) alias Ki Samadullah atau Ki Cakrabumi atau Haji Abdullah Iman atau Sri Mangana Pangeran Cakrabuana dengan Nyai Indang Geulis puteri Ki Danuwarsih.
  3. Nyai Babadan berputra Pangeran Turusmi.
  4. Syarifah Baghdad atau Syarifah Fatimah, puteri Syekh Datuk Kahfi dari istri bernama Khadijah, berputera: Pangeran Jaya Lelana/Pangeran Jaya Kelana – Lahir 1486 Masehi & Pangeran Bratakelana – Lahir 1490 Masehi.
  5. Nyai Gedeng Tepasan berputra Pangeran Pasarean atau Pangeran Muhammad Arifin, Nyai Ratu Ayu – Lahir 1493 Masehi & Ratu Wanawati Raras – Lahir 1525 Masehi.
  6. Tien Nio Ong/Ong Tien/Nyai Rara Sumanding mempunyai keturunan namun telah meninggal waktu bayi  – Lahir 1498 Masehi.


Para Putera-puteri:
  1. Ratu Ayu Pembayun bersuami Fadhilah Khan.
  2. Pangeran Pasarean atau Pangeran Muhammad Arifin dari istri bernama Nyai Gedeng Tepasan, beristri dengan Ratu Nyawa atau Ratu Ayu Wulan, janda mendiang Pangeran Bratakelana, berputera Pangeran Suwarga.
  3. Pangeran Jaya Lelana.
  4. Maulana Hasanuddin.
  5. Pangeran Bratakelana menikah dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan).
  6. Ratu Winangon/Ratu Wulung Ayu.
  7. Pangeran Turusmi.


Minggu, 30 Desember 2012

Ketika Manusia Harus Menentukan Pilihan




Sudah dari Dulu manusia diciptakan sebagai makhluk yang esentrik dan fenomenal, esentrik dalam karya fenomenal dalam hal nyata serta realita dan oleh sebab itu akan tiada kunjung berakhir mengurai keindahan yang ada dalam diri seorang manusia. Maka selanjutnya sering kali membuat hal yang baru dalam semua bidang serta hal ahwal dalam sipat dan pekerjaan akan dijadikan pilihan, apakah dia menggunakan atau meninggalkannya. Tak jarang pula mengarungi seluk beluk realita alam ini banyak berbagai pilihan yang mesti jeli mana yang harus diutamakan mengesampingkan hal yang kurang begitu perlu. Akan beda akhirnya manakala langsung diperbuat tampa mengadakan pilihan. Kadang berakibat baik dan tak jarang pula berakhir dengan keburukan.

Untuk mengejar target misalnya, diusahakan berbagai kemampuhan yang dimiliki agar tercapai dan berhasil. Hanya dengan trik dan cara yang sehatlah keberhasilan itu dicapai dan dirasakan plong dihati, sumerah dalam jiwa. Namun semua itu, bila belum waktunya keberhasilan didapat, maka secara naluri fitrah manusia akan berjiwa pasrah saja, karena selebihnya perbuatan dan keberhasilan itu tiada lepas dari kuasa Ilahi semata. Betapapun manusia banting tulang bekerja keras tak akan menembus tirai takdir.

Selasa, 27 November 2012

Pangeran Astapati





Cerita menarik tentang Kesultanan Banten belum lengkap bila tidak menceritakan riwayat Pangeran Astapati yang sakti mandraguna. Pangeran ini tidak dimakam di kompleks pemakaman raja-raja di serambi Mesjid Agung Banten, tetapi berada di pemakaman keluarga di Kampung Odel, Desa Kasemen, Serang.

Siapa sebenarnya Pangeran Astapati? Menurut catatan Babad Banten, Pangeran Astapati adalah salah satu pengikut setia Sultan Muhammad Arif Zainal Asikin yang memerintah tahun 1743-1773. Nama aslinya sebenarnya Wira Suta. Konon sebelum dinobatkan sebagai seorang pangeran dengan gelar yang sesuai sepak terjangnya adalah pelarian dari “Negeri Sejuta Pantangan” Baduy. Suta keluar dari tatanan adat Kenekes karena ingin mencari pengalaman di dunia lain.

Awalnya pemuda yang bertubuh kekar itu bekerja di lingkungan keraton sebagai pelihara kuda-kuda istana. Karena rajin, dia diperbolehkan belajar seni bela diri dan keprajuritan. Hasilnya ternyata tidak mengecewakan pelatihnya. Dari keberanian dan ketangkasan yang diperlihatkan pemuda ini kemudian diberi nama tambahan Wira di depan namanya. Dia juga dikenal di kalangan keraton dan akrab bergaul dengan siapa saja. Setelah menguasai ilmu bela diri karirnya cepat menanjak dan nasibnya mulai berubah. Lalu dia diberi kepercayaan memimpin pasukan perang diangkat menjadi Patih (Perdana Menteri). Kira-kira pada tahun 1663, ketika memadamkan pemberontakan di Lampung, ia terluka pada tangannya. Dikatakan bahwa luka yang diderita oleh Pangeran Wirasuta membawa maut. Karena itu setelah ia meninggal, diberi gelar Pangeran Astapati (asta = tangan, pati = mati)

Dan atas jasa-jasanya pada masa itu pemuda Suta dijodohkan dengan salah seorang puteri Sultan yang cantik. Dari hasil perkawinannya lahir anak pertama yang diberi nama Djajadiningrat. Dari keturunan keluarga ini kemudian menghasilkan tokoh-tokoh teknokrat dan birokrat ternama.

Di sekitar makam pangeran yang sakti mandraguna bergelar Pangeran Astapati Parahyangan Perpati Sultan yang wafat tahun 1773, terdapat pula makam keturunannya. Kompleks makam yang dinamakan Mulya Srama itu antara lain terdapat nama seperti R.Temenggung Djajadiningrat (25 Juli 1890), R.Hasan Djajadiningrat (30 Desember 1920), R.Adipati Sutraningrat (3 Juli 1890), Profesor Sindian Isa Djajadiningrat (27 April 1968), RAA Hilman Djajadiningrat (25 November 1963) dan R.Tjakradiningrat (9 Juli 1888). Nama yang terakhir adalah kakek HMA Sampurna (alm) mantan Wagub Jawa Barat dan pernah menjabat sebagai Bupati Serang ke-27.

Makam-makam kuno yang banyak tersebar di sekitar Kecamatan Kasemen dan cukup jauh dari kompleks keraton bukan karena yang bersangkutan tidak diterima di pemakamanan keluarga istana. Tetapi karena pesan si mati ketika masih hidup ingin dimakamkan di tempat tertentu.

Pangeran Astapati atau Raden Wirasuta Akmaldiningrat mempunyai anak:
  1. Ki Ngabehi bahu Pringga (Patih Darus)
  2. Ki Anab
  3. Nyai Dariah
  4. Kiai Gantang
  5. Nyai Andil
(pada keadaan sekarang, makam-makam anak ke-1, 2, 3 itu berjajar, sedangkan Kiai Gantang di bawah pohon santigi, dan Nyai Andil di dekat Urut Situ di Pasir Waluh, Lebak).

Ki Ngabehi Bahu Pringga (Patih Darus) menurunkan putera-putera ada yang menjadi ulama ksatria, santana (menak) dan petani. Yang menjadi kesatria/menak antara lain K.H. Kimaslia yang kemudian menjadi ulama sekaligus menak yang memegang kuasa atas daerah kabupaten Pandeglang dan bergelar R.T.A.A. Natadiningrat, yang juga dikenal sebagai Dalem Tjekek, setelah wafat dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang. Natadiningrat mempunyai 26 orang anak laki-laki dan perempuan (dari lain-lain istri), di antaranya ada yang melanjutkan tradisi keratuan, yaitu:
  1. Raden Murawan Sutadiningrat
  2. Raden Bagus Djajadiningrat
Sutadiningrat mempunyai anak antara lain
  1. Raden Tjakra-diningrat
  2. Raden Tanu Sura Adiningrat (melanjutkan memerintah Tjaringin (Menes) dan Pandeglang, dan dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang.

Sementara itu Tjakradiningrat ditunjuk menjabat di daerah Peucang, kemudian menjadi Wedana di Cilegon, sampai akhirnya tewas menjadi korban dalam pemberontakan Cilegon pada tahun 1888. Tjakradiningrat kawin antara lain dengan Nyi Raden Ajeng Encoh (Patih Bintang Rangkasbitung) berputera antara lain Nyi Mas Siti Asyah Amiruddin, Nong Tris dan lain-lainnya.

SILSILAH KETURUNAN PANGERAN ASTAPATI

01

ADIPATI WIRAKOMA


Puputra

Raden
1. Wira sutra 


Puputra

Raden
1. Wira suta Kangjeng.pangeran Astapati


Puputra

Raden
1. Tumenggung arya wangsapati


Puputra

Mas
1. Behi bahu pringga . Patih pangsiun . Rks


Puputra

Raden
1. Adipati aryanata diningrat.Bupati pangsiun Pdg.





KANGJENG PANGERAN ANDAYA NINGRAT


Puputra

Pangeran
Purba ningrat


Puputra

Raden
Ayu purba ningrat


Kawin pada

Pangeran
Kangjeng Pangeran Astapati


Puputra

Raden
Tumenggung arya wangsa pati


Puputra

Mas
Behi bahu pringga





KIAI SYEKH ‘ABDUL QOHAR


Puputra

Mas
‘Aisyah


Kawin pada


Tumenggung sutra dilaga


Puputra

Mas
Patimah


Kawin pada


Tumenggung arya wangsa pati


Puputra
1
Mas
1. Behi bahu pringga
2
Mas
2. Dihung
3
Mas
3. Apak
4
Mas
4. Ani
5
Mas
5. Inuk
02

TUMENGGUNG SUTRA DILAGA


Puputra

Raden 
Tumenggung Suta dilaga


Puputra

Mas
Khodijah


Kawin pada

Mas
Ngabehi bahu pringga 


Puputra
1
Raden
1. Adipati aryanata diningrat
2
Mas
2. Wera
3
Mas
3. Ratna
4
Mas
4. Kaman





MAS NGABEHI BAHU PRINGGA


Kawin pada

Mas
Sarmah


Puputra

Mas
1. Niting rangga





MAS NGABEHI BAHU PRINGGA


Kawin pada

Mas
Dara


Puputra
1
Mas
1. Mukibah
2
Mas  
2. Hanifah





RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT


Kawin pada

Mas
Artasiah  - Istri ke. 1


Puputra
1
Raden
1. Ajeng lindasari
2
Raden
2. Adipati suta diningrat
3
Raden
3. Ajeng rendra
4
Raden
4. Ajeng syah jaleha
5
Raden
5. Adipati gunadiningrat
6
Raden
6. Adipati shaja diningrat





RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT


Kawin pada

Mas
Armah – Istri ke . 2


Puputra
1
Raden
1. Ajeng liam sari
2
Raden
2. Ajeng lenggang sari
3
Raden
3. Ajeng purwa sari



03

RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT


Kawin pada

Mas
Kasi’ah – Istri ke . 3


Puputra

Raden
1. Marga diningrat





RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT


Kawin pada

Raden
Ayu warga kusumah  - Istri ke . 4


Puputra
1
Raden
1. Ikak
2
Raden
2. Astra suta diningrat
3
Raden
3. Jaya prana diningrat
4
Raden
4. Tumenggung jaya diningrat
5
Raden
5. Haji ‘Abubakar
6
Raden
6. Haji ‘Umar
7
Raden
7. Sura wijaya





RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT


Kawin pada

Mas
Armunah – Istri ke . 5


Puputra

Raden
Ajeng mukisah





RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT


Kawin pada

Mas
Janasiah -  Istri ke . 6


Puputra
1
Raden
1. Ajeng lintang sari
2
Raden
2. Lijam sari





RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT


Kawin pada

Mas
Dengok - Istri ke . 7


Puputra
1
Raden
1. Dotong
2
Raden
2. Wira diningrat



04

RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT



Kawin pada

Mas
Ratu sunda – Istri . 8


Puputra
1
Raden
1. Sarbala
2
Raden
2. Purba kadaton
3
Raden
3. Wira kadaton
4
Raden
4. Atmaja diningrat
5
Raden
5. Puspa diningrat
6
Raden
6. Ganda diningrat





KANGJENG PANGERAN ASTAPATI


Punya – 3 – saudara
1
Mas
1. Agung
2
Mas
2. Arya jaga pamuka
3
Mas
3. Hasan





RADEN AYU PURBA DININGRAT


Puputra
1
Raden
1. Tumenggung wangsa pati
2
Ratu
2. Syari’ah


Puputra
1
Mas
1. Widara
2
Tubagus
2. Askah
3
Tubagus
3. Abdullah
4
Tubagus
4. Durrohman





TUMENGGUNG  MUTADILAGA


Puputra
1
Mas
1. Khodijah
2
Mas
2. Inung
3
Uyang
3. Muktar
4
Uyang
4. Sanaf





SYEKH ‘ABDUL QOHAR


Puputra
1
Mas
1. ‘Aisyah
2
Syekh
2. ‘Abdullah


Puputra
1
Raden

1. Demang mangku diraja – Patih cianjur

2
Raden
2. Adipati parawira – Bupati cianjur
3
Raden
3. Adipati arya kusuma ningrat – Bupati cianjur



05

MAS NGABEHI BAHU PRINGGA


Kawin pada

Mas
Khodijah – Istri ke . 1


Puputra
1
Raden
1. Adipati aryanata diningrat 
2
Mas
2. Weda
3
Mas
3. Ratna
4
Mas
4. Kaman





MAS NGABEHI BAHU PRINGGA


Kawin pada

Mas
Dara – Istri ke . 2


Puputra
1
Mas
1. Mukibah
2
Mas
2. Hanifah





MAS NGABEHI BAHU PRINGGA


Kawin pada

Mas
Sarmah – Istri ke . 3


Puputra
1
Mas
1. Niting rangga