Ads 468x60px

Jumat, 04 Januari 2013

Maulana Yusuf




Maulana Yusuf, Sultan Banten II (1570-1580 M)
Gawe Kuta bulawarti bata kalawan kawis
Panembahan Sabakinkin atau Maulana Hasanudin, dari pernikahanannya dengan Ratu Ayu Kirana mempunyai putera yang di beri nama Pangeran Yusuf dan selanjutnya setelah memegang tampuk pemerintahan kerajaan, beliau menyandang gelar Maulana Yusuf, yang artinya seseorang yang ahli dalam agama Islam dalam mengayomi umat sekaligus memegang kekuasaan, mengurus tata kenegaraan sebagai pelayan rakyat. Selanjutnya, gelar maulana di kemudian hari di gantikan dengan Sultan yang amat beda fungsi dan tugasnya. Seperti juga ayahnya, Maulana Yusuf ingin memajukan Banten. Tapi pada masa Maulana Yusuf disamping pendidikan agama, juga lebih ditekankan pada bidang pembangunan kota, keamananan dan pertanian.

Pada masanya pulalah Ibukota Pajajaran (Pakuan) dapat ditaklukan oleh Banten. Para ponggawa kerajaan Pajajaran lalu dengan sukarela memilih Islam dan masing-masing memegang jabatannya seperti semula. Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, perdagangan di Banten semakin maju. bahkan bisa dikatakan bahwa pada saat itu Banten bagaikan kota penimbunan barang-barang (gudang) dari penjuru dunia yang nantinya disebarkan ke  berbagai tempai di masing-masing kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara. Sehingga Banten menjadi begitu ramai dikunjungi, baik dari luar maupun oleh para penduduk nusantara. Sehingga pada  masa pemerintahan Maulana Yusuf pulalah dibuatnya peraturan penempatan penduduk berdasarkan keahliannya dan asal daerahnya.

Perkampungan untuk orang asing biasanya ditempatkan diluar tembok kota. seperti Kampung Pakojan terletak  disebelah barat pasar Karangantu, untuk para pedagang dari Timur Tengah, Pecinan  terletak disebalh barat Masjid Agung, untuk para pedagang dari Cina. Kampung Panjunan (Untuk para Tukang Belanga, gerabah, periuk dsb), Kampung Kepandean (Untuk tukang Pandai besi), Kampung Pangukiran (Untuk Tukang Ukir), Kampung  Pagongan (Untuk tukang gong), Kampung Sukadiri (Untuk para pembuat senjata). Demikian pula untuk golongan sosial tertentu, seperti Kademangan (untuk para  demang), Kefakihan (Untuk para ahli Fiqih), Kesatrian (Untuk para Satria, perwira, Senopatai dan prajurit istana).

Pengelempokan pemukiman ini selain dimaksudkan untuk kerapihan dan keserasian kota, tapi lebih penting untuk keamanan kota. Tembok kota pun diperkuat dengan membuat parit-parit disekelilingnya. Dalam babad Banten disebutkan Gawe Kuta bulawarti bata kalawan kawis Perbaikan Masjid Agung Pun dikerjakannya, dan sebagai kelengkapan dibangun sebuah menara dengan bantuan Cek Ban Cut arsitek muslim asal Mongolia.

Disamping mengembangkan pertanian yang sudah ada, Sultanpun mendorong rakyatnya untuk membuka daerah-daerah baru bagi persawahan. Oleh karenanya sawah di Banten bertambah meluas sampai melewati daerah Serang sekarang. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah-sawah tersebut, dibuatnya terusan-terusan dan bendungan-bendungan. Bagi persawahan yang  terletak disekitar kota, dibuatnya juga satu danau buatan yang disebut Tasikardi. Air dari Sungai Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini. Lalu dari sana dibagi ke daerah-daerah persawahan di sektarnya. Tasikardi juga digunakan bagi penampungan air bersih bagi kebutuhan kota. Dengan melalui pipa-pipa yang terbuat dari terakota (gorong-gorong, gerabah dari tanah liat), setelah dibersihkan/diendapkan air tersebut dialirkan ke keraton dan tempat-tempat lain di dalam kota. Di tengah-tengah danau buatan tersebut terdapat pulau kecil yang digunakan untuk tempat rekreasi keluarga keraton.

Dari permaisuri Ratu Hadijah, Maulana Yusuf mempunyai dua orang anak yaitu Ratu Winaon dan Pangeran Muhammad. Sedangkan dari istri-istri lainnya, baginda dikaruniai anak antara lain: Pangeran Upapati, Pangeran Dikara, Pangeran Mandalika atau Pangeran Padalina, Pangeran Aria Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Seminingrat, Pangeran Dikara, Ratu Demang atau Ratu Demak, Ratu Pacatanda atau Ratu Mancatanda, Ratu Rangga, Ratu Manis, Ratu Wiyos dan Ratu Balimbing.

Pada tahun 1580, Maulana yusuf mangkat dan kemudian dimakamkan di Pekalangan Gede dekat Kampung Kasunyatan. Setelah meninggalnya, Maulana Yusuf diberi gelar Pangeran Panembahan Pekalangan Gede. Dan sebagai penggantinya diangkatlah puteranya yang bernama Pangeran  Muhammad.

Maulana Yusuf mendapat gelar Panembahan Yusuf, menjadi penguasa Surasowan Wahanten selama 10 tahun, dari tahun 1492 Saka (1570 Masehi), hingga tahun 1502 Saka ((1580 Masehi), beristri Permaisuri Nyi Mas Ratu Ayu Siti Hadijah binti Syekh Tubagus Abdurrozak bin Syekh Tubagus Muhammad Soleh bin Syekh Tubagus Abdurrahman (Gunung Santri) berputera:

  1. Ratu Winahon
  2. Pangeran Muhammad

Dari istri yang lainnya, beliau mempunyai putra-putri diantaranya:
  1. Pangeran Arya Upapati
  2. Pangeran Arya Adikara
  3. Pangeran Arya Mandalika
  4. Pangeran Arya Ranamanggala
  5. Pangeran Arya Seminingrat
  6. Ratu Demang
  7. Ratu Pecatanda
  8. Ratu Rangga
  9. Ratu Ayu Wiyos
  10. Ratu Manis
  11. Pangeran Manduraraja
  12. Pangeran widara
  13. Ratu Belimbing

Rabu, 02 Januari 2013

Maulana Hasanuddin



Seorang Panembahan kelahiran Wahanten (Banten), beralur darah trah Rasul Muhammad, berbaur dengan alur darah trah Sri Baduga Maharaja, melalui ketawakalan dan perjuangan yang berat, akhirnya berhasil mendirikan monumen Islam yang kokoh di Bumi Wahanten. Sebagian besar penduduknya, menjadi pemeluk setia agama Rasul Muhammad.

Dari pernikahan Nyai Kawung Anten dengan Syarif Hidayat, pada tahun 1478 M., Sang Surasowan mempunyai cucu laki-laki. Oleh Sang Surasowan, bayi laki-laki itu diberi nama Sabakinkin. Oleh Syarif Hidayat, diberi nama Hasanuddin.

Ketika ayahanda Nyai Kawung Anten, Sang Surasowan, mertua Syekh Syarif Hidayat, kakeknya Pangeran Sabakinkin atau Maulana hasanuddin wafat, dalam usia terhitung muda, tahtanya diwariskan kepada putranya, Sang Arya Surajaya.

Pada masa pemerintahan Sang Surajaya di Wahanten Pesisir, Syarif Hidayat sudah menjadi pewaris kedua, di Kesultanan Pakungwati Cirebon. Oleh karena itu, Sabakinkin atau Hasanuddin, menjadi penerus ayahnya, menjadi Guru Agama Islam di Wahanten Pesisir. Pada waktu itu, Pangeran Sabakinkin, lebih dikenal dengan sebutan Syekh Maulana Hasanuddin.

Ketenaran Syekh Maulana Hasanuddin, telah mengalahkan kharisma uwanya, Adipati Arya Surajaya. Sehingga hubungan kekerabatan dengan uwanya itu, menjadi tidak harmonis lagi.

Ketika menjadi penyiar agama Islam di Wahanten Pesisir, Syekh Maulana Hasanuddin menikah dengan puteri raja Indrapura, serta memperoleh putera laki-laki, diberi nama Yusuf.

Untuk jaringan politik, antara Kesultanan Pakungwati Cirebon dengan Kesultanan Demak, Syekh Maulana Hasanuddin berjodoh dengan Ratu Ayu Kirana (Ratu Mas Purnamasidi), puteri sulung Raden Fatah. Dari perkawinannya, lahir pertama Ratu Winahon, kelak menjadi isteri Tubagus AngkeBupati Jayakarta (Jakarta). Putera kedua, Pangeran Arya (Pangeran Jepara), yang menjadi anak angkat Ratu Kalinyamat dari Jepara.

Di Wahanten Girang terjadi kekosongan pimpinan wilayah, ini dikarenakan Sang Adipati Surajaya beserta pengikutnya mendapat serbuan dari balatentara gabungan Pakungwati dan Demak, sehingga mengungsi kedaerah Bogor. Dan atas inisiatif Ki Bagus Molana, akhirnya Wahanten Girang bergabung dengan Wahanten Pesisir. Dengan demikian, Pangeran Sabakinkin Adipati Syekh Maulana Hasanuddin, berkuasa atas dua wilayah kerajaan: Wahanten Pasisir dan Wahanten Girang. Akhirnya Pangeran Sabakinkin dinobatkan kembali, dan memperoleh gelar Panembahan. Pengertian Panembahan, adalah tokoh ulama besar Islam yang sangat dihormati, merangkap jadi penguasa.

Pada tahun 1570 M. Panembahan Syekh Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakinkin wafat, meninggalkan para putra dan putri:
  1. Ratu Pembayun Fatimah
  2. Pangeran Yusuf (Maulana Yusuf)
  3. Pangeran Jagaraksa/Arya Japara
  4. Pangeran Sunyararas
  5. Pangeran Pajajaran
  6. Pangeran Pringgalaya
  7. Pangeran Sabrang Lor
  8. Ratu Keben
  9. Ratu Terpater
  10. Ratu Biru
  11. Ratu Ayu Arsanengah
  12. Pangeran Pajajaran Wado
  13. Tumenggung Wilatikta
  14. Ratu Ayu Kamudarage
  15. Pangeran Sabrang Wetan



Kuncen Cikadueun Keramat



Kuncen Cikadueun Keramat

Dalam tulisan ini penulis mengumpulkan data mengenai tokoh-tokoh yang pernah dan masih menjabat sebagai pengurus/kuncen Keramat Cikadueun di Pemakaman astana Uyut Manshur yaitu:

Pertama dipegang oleh KH. Ya'qub bin 'Adnan pengurus yang di tunjuk langsung oleh KH. Ruyani Kadu Pinang, sebagai asal mulanya atas titah dalam Tawajjuh beliau bahwa, di pemakaman Cikadueun ini bersemayam jasad seorang tokoh yang amat di cari dan di muliakan juga sebagai garis keturunan dari Kerajaan Banten, dilanjutkan hanya sebentar oleh Ki Asiri dan selanjutnya dipegang oleh H. Nur Dinuri, seorang keturunan Pangeran Astapati mantan pegawai bank berkantor di Saketi. Kemudian pada KH. Zuhri bin KH. Ya'qub hingga dipasrahkan pada warangnya (besan. sunda) bernama H. tb. Muhammad Arif, hasil pertikahan putra keempat dari KH. Zuhri ini yang bernama KH. Zaenuddin nikah bersanding dengan putri H. tb. Muhammad Arif yang bernama Hj. rt. Habibah.

Selanjutnya tampuk pemegang jabatan kuncen di serahkan pada H. Husni bin H. Nur Dinuri, sebab karena KH. Zaenuddin Zuhri menyerahkan padanya hanya untuk beliau (H. Zen panggilan lainnya) agar fokus pada pendidikan umat saja, dan ini di realisasikannya sehingga tampuk jabatan kuncen seharusnya padanya beliau serahkan pada H. Husni.

Di dalam memegang  jabatan kuncen. Ende Husni, panggilan untuk H. Husni bin H. Nur Dinuri berlangsung agak lama hingga meninggal dan selanjutnya dipegang oleh H. Entus Arip Hidayat bin H. tb. Muhammad Arif , dilanjutkan oleh H. Iyus yusron bin H. Husni seterusnya pada H. Uju 'Izzuddin bin H. Yasin asal Kd. Mernah mantu dari H. Husni tersebut yang menikah dengan Hj. Eneng. Setelah meninggal H. Uju 'Izzuddin, tampuk pemegang jabatan sebagai kuncen belum ada kata sepakat siapa yang harus memegangnya, berhubung Dinas kepurbakalaan menyerahkan SK. (Surat Keputusan) pemegang keKuncenan pada tb. Apuk bin H. Iyus Yusron dan sebagai yang kedua adalah KH. Hafid Zuhri putra bungsu KH. Zuhri Nawawi bin KH. Ya'qub. Dan dalam masa kefakuman ini jabatan Kuncen sementara dan tidak sepenuhnya dipegang oleh ace Sopiyan bin Ace Marzuq (sekarang)

Allahu a'lam.

Senin, 31 Desember 2012

Maulana Syarif Hidayatullah





Dari perkawinannya Syarif Abdullah dengan Syarifah Muda'im (Nyai Larasantang), mempunyai anak dua orang, di antaranya masing-masing ialah: Syarif Hidayat lahir pada tahun 1370 Saka (1448 Masehi). dan Syarif Nurullah namanya.

Sesudah Syarif Hidayat menjadi pemuda, baru berusia dua puluh tahun, bersikap saleh dan ingin menjadi guru agama islam. Oleh karena itu pergi dari Mekah. Di sana berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri, lamanya dua tahun. Pada waktu itulah, dari Syekh Athoillah as-Sakandary as-Syadzili, ia mengetahui nama anutan madzhab Imam Syafi'i. Selesai dua tahun.

Selanjutnya pergi ke kota Bagdad. Di sana berguru tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara ayahnya. Selanjutnya pulang ke negeri Mesir. Syarif Hidayat sudah mendapatkan banyak nama, yaitu Sayid Kamil, Syekh Nuruddin Ibrahim ibnu Maulana Sultan Mahmud al-Khibti nama lainnya.

Kemudian Syarif Hidayat pergi ke Pulau Jawa. Dalam perjalanannya, singgah di Gujarat. Tinggal lamanya di sana tiga tahun.

Ketika singgah di Gujarat, Syarif Hidayat bertemu dengan Dipati Keling, bersama 98 anak buahnya, kemudian masuk agama Islam dan menjadi muridnya. Kemudian mereka berlayar bersama-sama, menuju Pulau Jawa.

Dalam perjalanan ke Pulau Jawa, singgah di negeri Pasai. Di sana Syarif Hidayat tinggal di Pesantren saudaranya, yaitu Sayid Ishak yang menjadi guru agama Islam di negeri Pasai, Sumatera. Di negeri Pasai ini, Syarif Hidayat tinggal selama dua tahun.

Selanjutnya Syarif Hidayat alias Sayid Kamil, singgah di Banten tepatnya di Banten pesisir, mengajarkan agama Islam di sana, berjodoh dengan puteri Adipati Banten, Nyai Kawung Anten. Alasan sesungguhnya Syarif Hidayat singgah di Banten ini ingin bertemu dengan Ali Rakhmatullah.

Setelah ada habar bahwa yang bersangkutan berada di lain tempat, maka Syarif Hidayat pergi ke Ampel, naik perahu orang jawa timur. Pada waktu itu para Wali ada di sana, masing-masing mengemban tugas yang di amanatkan.

Syarif Hidayat bersilaturahmi dan berkenalan dengan para Wali yang berada di Jawa Timur. Selanjutnya, Syarif Hidayat atau Sayid Kamil bersama Dipati Keling dan anak buahnya, berlayar menuju Cirebon. Kunjungan ke Cirebon ini dalam rangka untuk mengunjungi uwanya (kakak ibunya), Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, penguasa Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon.

Di sini Syarif Hidayat menemui uwanya, dan alangkah sukacitanya Sri Mangana, ketika di temui oleh anak adiknya (suwannya) itu.

Begitu pula Syarif Hidayat sangat gembira, dapat bertemu dengan uwanya yang telah berhasil mendirikan Kerajaan Islam pertama, di Kerajaan Sunda. Akhirnya Syarif Hidayat bersama bersama Dipati Keling serta 98 anak buahnya, di tempatkan di Giri Sembung Amparan Jati (Gunung Jati). Syarif Hidayat di beri jabatan sebagai Guru Agama Islam di Pondok Quro Amparan Jati, sebagai pengganti Syekh Datuk Kahfi. Syarif Hidayat berjodoh dengan kakak sepupunya, Nyai Mas Pakungwati.

Di Giri Sembung, Syarif Hidayat disebut Maulana Jati atau Syekh Jati sebutan lainnya. Selanjutnya mengelola pesantren itu. Setelah beberapa lama kemudian, semua penduduk berguru kepada Sayid Kamil. Adapun Syarif Hidayat, yaitu Sayid Kamil, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Susuhunan Jati atau Sunan Cirebon nama lainnya. Sembilan tahun sudah ia berada di Pulau Jawa.

Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, mempunyai penilaian tersendiri kepada Syarif Hidayat. Demi untuk kepentingan penyebaran Islam, Sang Tumenggung mewariskan tahtanya, kepada suwan yang sekaligus menantunya, Syarif Hidayat.

Syarif Hidayat dilantik menjadi Raja Cirebon oleh uwanya Pangeran Cakrabuana, sebagai Tumenggung Kerajaan Cirebon, dengan gelar Susuhunan Jati.

Syarif Hidayat menjadi raja mahardika, memerdekakan diri dari naungan Sunda Pajajaran di bumi Jawa Barat. Pada waktu itu, para Wali Sanga di Jawa Timur, menyambut gembira menyerukan pujian atas penobatannya, dan semua memberikan dukungan.

Semua pimpinan masyarakat desa di Cirebon sangatlah sukacita. Pejabat penguasa daerah, pesta meriah, mengadakan syukuran di Paseban Keraton Pakungwati.

Untuk mengukuhkan penobatan Susuhunan Jati, dilakukan oleh para Wali dari Jawa Timur, yang dihadiri pula oleh Raden Fatah sebagai Sultan Demak. Mereka hadir di Keraton Pakungwati Cirebon, disertai armada laut dan balatentara Kesultanan Demak, yang dipimpin oleh Panglima Fadhillah Khan.

Kemudian Wali Sanga menganugrahi gelar kekuasaan kepada Susuhunan Jati menjadi Panetep Panatagama rat Sunda i Bhumi Jawa Kulwan (Panetep Panatagama kawasan Sunda di Bumi Jawa Barat) berkedudukan di negeri Cirebon.

Karena tanpa persetujuan pemerintahan pusat (Pakuan Pajajaran), Sri Baduga Maharaja mengutus Tumenggung Jagabaya bersama pasukan pengawalnya, untuk menertibkan dan mengatasi keadaan di Cirebon.

Ketika Tumenggung Jagabaya beserta pasukan pengawalnya tiba di Cirebon, mereka disergap di Gunung Sembung oleh pasukan gabungan Cirebon-Demak yang dipimpin oleh Senapati Demak Fadhillah Khan. Tumenggung Jagabaya dan pasukan pengawalnya, akhirnya masuk agama Islam.

Karena Tumenggung Jagabaya serta pasukan pengawalny, lama tidak kembali ke Pakuan, Sri Baduga Maharaja segera mempersiapkan angkatan perang besar Kerajaan Sunda Pajajaran. Akan tetapi, niatnya untuk menyerang Pakungwati Cirebon, dapat dicegah oleh penasihatnya Ki Purwagalih.

Ki Purwagalih mengungatkan kepada Prabu Siliwangi, bahwa:
Syarif Hidayat, adalah cucunya sendiri dari Larasantang.
Syarif Hidayat, adalah menantu Walangsungsang, atas pernikahannya dengan Pakungwati.
Penobatan awal Syarif Hidayat, atas kehendak Pangeran Cakrabuana, puteranya sendiri.

"Betapa tidak terpujinya, Sang Kakek memerangi cucunya," Inilah yang dinasihatkan oleh Ki Purwagalih kepada Sri Baduga Maharaja.

Syekh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayat, berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka. Di makamkan di Cirebon tepatnya di Gunung Sembung/Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat pada usia 120 tahun.

Beliau mempunyai beberapa istri diantaranya:
  1. Nyai Kawunganten puteri Sang Surasowan (Bupati Banten dari Pajajaran, yang berada di Banten Pesisir) atau adik Sang Surajaya, menikah sekitar pada tahun 1470-1480 Masehi dan berputera: Ratu Wulung Ayu/Ratu Winangon yang lahir tahun 1477 Masehi & Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakinkin, lahir 1478 Masehi.
  2. Dewi Pakungwati, puteri Walangsungsang (uwanya Syekh Syarif Hidayat) alias Ki Samadullah atau Ki Cakrabumi atau Haji Abdullah Iman atau Sri Mangana Pangeran Cakrabuana dengan Nyai Indang Geulis puteri Ki Danuwarsih.
  3. Nyai Babadan berputra Pangeran Turusmi.
  4. Syarifah Baghdad atau Syarifah Fatimah, puteri Syekh Datuk Kahfi dari istri bernama Khadijah, berputera: Pangeran Jaya Lelana/Pangeran Jaya Kelana – Lahir 1486 Masehi & Pangeran Bratakelana – Lahir 1490 Masehi.
  5. Nyai Gedeng Tepasan berputra Pangeran Pasarean atau Pangeran Muhammad Arifin, Nyai Ratu Ayu – Lahir 1493 Masehi & Ratu Wanawati Raras – Lahir 1525 Masehi.
  6. Tien Nio Ong/Ong Tien/Nyai Rara Sumanding mempunyai keturunan namun telah meninggal waktu bayi  – Lahir 1498 Masehi.


Para Putera-puteri:
  1. Ratu Ayu Pembayun bersuami Fadhilah Khan.
  2. Pangeran Pasarean atau Pangeran Muhammad Arifin dari istri bernama Nyai Gedeng Tepasan, beristri dengan Ratu Nyawa atau Ratu Ayu Wulan, janda mendiang Pangeran Bratakelana, berputera Pangeran Suwarga.
  3. Pangeran Jaya Lelana.
  4. Maulana Hasanuddin.
  5. Pangeran Bratakelana menikah dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan).
  6. Ratu Winangon/Ratu Wulung Ayu.
  7. Pangeran Turusmi.


Minggu, 30 Desember 2012

Ketika Manusia Harus Menentukan Pilihan




Sudah dari Dulu manusia diciptakan sebagai makhluk yang esentrik dan fenomenal, esentrik dalam karya fenomenal dalam hal nyata serta realita dan oleh sebab itu akan tiada kunjung berakhir mengurai keindahan yang ada dalam diri seorang manusia. Maka selanjutnya sering kali membuat hal yang baru dalam semua bidang serta hal ahwal dalam sipat dan pekerjaan akan dijadikan pilihan, apakah dia menggunakan atau meninggalkannya. Tak jarang pula mengarungi seluk beluk realita alam ini banyak berbagai pilihan yang mesti jeli mana yang harus diutamakan mengesampingkan hal yang kurang begitu perlu. Akan beda akhirnya manakala langsung diperbuat tampa mengadakan pilihan. Kadang berakibat baik dan tak jarang pula berakhir dengan keburukan.

Untuk mengejar target misalnya, diusahakan berbagai kemampuhan yang dimiliki agar tercapai dan berhasil. Hanya dengan trik dan cara yang sehatlah keberhasilan itu dicapai dan dirasakan plong dihati, sumerah dalam jiwa. Namun semua itu, bila belum waktunya keberhasilan didapat, maka secara naluri fitrah manusia akan berjiwa pasrah saja, karena selebihnya perbuatan dan keberhasilan itu tiada lepas dari kuasa Ilahi semata. Betapapun manusia banting tulang bekerja keras tak akan menembus tirai takdir.