Pada era tahun 70-80an, Cikadueun ini sejuk penuh kedamaian dan gemah ripah repeh rapih. Warganya makmur tiada kekurangan sandang maupun pangan. Betapa tidak, disekeliling kampung dipenuhi oleh pesawahan hijau menghampar serta padi tumbuh dengan suburnya, hingga hampir di setiap rumah mempunyai lumbung padi sendiri yang disebut "leuit", tempat penyimpanan padi sehabis panen. Anehnya padi didalamnya tiada berkurang hingga dua musim panen berlalu. Artinya keberkahan itu kelihatan dan terasa oleh warga dimana hasil panen itu amat melimpah ruah, padahal sama sekali para penggarap sawah tidak menggunakan pupuk organik apalagi namanya penyubur tanah. Alhasil, padi yang dikonsumsi warga dari dalam lumbung itu setelah mengalami masa dua hingga tiga musim panen, istilahnya padi didalamnya yang paling bawah pun terasa enak dimakan dan tidak berbau apek samasekali,
Baru setelah penghuninya bertambah banyak dan hampir semuanya butuh akan tempat tinggal, maka tanah yang tadinya berupa pesawahan menjadi kebun semen nan menjulang. Namun semua ini bukan berarti kekurangan lahan pesawahan saja. Lebih dari pada itu, yaitu suatu kejadian dimana debit air di kali-kali yang ada disekitar Cikadueun lambat laun berkurang, ditambah tampungan air berupa bendungan di banyak tempat jebol terkena banjir, dan sayangnya tiada perbaikannya sama sekali, hingga pesawahan di hilir Bendungan amat kekurangan air dan lama-lama berubah fugsi menjadi tanah perkebunan.