Ads 468x60px

Senin, 31 Desember 2012

Maulana Syarif Hidayatullah





Dari perkawinannya Syarif Abdullah dengan Syarifah Muda'im (Nyai Larasantang), mempunyai anak dua orang, di antaranya masing-masing ialah: Syarif Hidayat lahir pada tahun 1370 Saka (1448 Masehi). dan Syarif Nurullah namanya.

Sesudah Syarif Hidayat menjadi pemuda, baru berusia dua puluh tahun, bersikap saleh dan ingin menjadi guru agama islam. Oleh karena itu pergi dari Mekah. Di sana berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri, lamanya dua tahun. Pada waktu itulah, dari Syekh Athoillah as-Sakandary as-Syadzili, ia mengetahui nama anutan madzhab Imam Syafi'i. Selesai dua tahun.

Selanjutnya pergi ke kota Bagdad. Di sana berguru tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara ayahnya. Selanjutnya pulang ke negeri Mesir. Syarif Hidayat sudah mendapatkan banyak nama, yaitu Sayid Kamil, Syekh Nuruddin Ibrahim ibnu Maulana Sultan Mahmud al-Khibti nama lainnya.

Kemudian Syarif Hidayat pergi ke Pulau Jawa. Dalam perjalanannya, singgah di Gujarat. Tinggal lamanya di sana tiga tahun.

Ketika singgah di Gujarat, Syarif Hidayat bertemu dengan Dipati Keling, bersama 98 anak buahnya, kemudian masuk agama Islam dan menjadi muridnya. Kemudian mereka berlayar bersama-sama, menuju Pulau Jawa.

Dalam perjalanan ke Pulau Jawa, singgah di negeri Pasai. Di sana Syarif Hidayat tinggal di Pesantren saudaranya, yaitu Sayid Ishak yang menjadi guru agama Islam di negeri Pasai, Sumatera. Di negeri Pasai ini, Syarif Hidayat tinggal selama dua tahun.

Selanjutnya Syarif Hidayat alias Sayid Kamil, singgah di Banten tepatnya di Banten pesisir, mengajarkan agama Islam di sana, berjodoh dengan puteri Adipati Banten, Nyai Kawung Anten. Alasan sesungguhnya Syarif Hidayat singgah di Banten ini ingin bertemu dengan Ali Rakhmatullah.

Setelah ada habar bahwa yang bersangkutan berada di lain tempat, maka Syarif Hidayat pergi ke Ampel, naik perahu orang jawa timur. Pada waktu itu para Wali ada di sana, masing-masing mengemban tugas yang di amanatkan.

Syarif Hidayat bersilaturahmi dan berkenalan dengan para Wali yang berada di Jawa Timur. Selanjutnya, Syarif Hidayat atau Sayid Kamil bersama Dipati Keling dan anak buahnya, berlayar menuju Cirebon. Kunjungan ke Cirebon ini dalam rangka untuk mengunjungi uwanya (kakak ibunya), Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, penguasa Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon.

Di sini Syarif Hidayat menemui uwanya, dan alangkah sukacitanya Sri Mangana, ketika di temui oleh anak adiknya (suwannya) itu.

Begitu pula Syarif Hidayat sangat gembira, dapat bertemu dengan uwanya yang telah berhasil mendirikan Kerajaan Islam pertama, di Kerajaan Sunda. Akhirnya Syarif Hidayat bersama bersama Dipati Keling serta 98 anak buahnya, di tempatkan di Giri Sembung Amparan Jati (Gunung Jati). Syarif Hidayat di beri jabatan sebagai Guru Agama Islam di Pondok Quro Amparan Jati, sebagai pengganti Syekh Datuk Kahfi. Syarif Hidayat berjodoh dengan kakak sepupunya, Nyai Mas Pakungwati.

Di Giri Sembung, Syarif Hidayat disebut Maulana Jati atau Syekh Jati sebutan lainnya. Selanjutnya mengelola pesantren itu. Setelah beberapa lama kemudian, semua penduduk berguru kepada Sayid Kamil. Adapun Syarif Hidayat, yaitu Sayid Kamil, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Susuhunan Jati atau Sunan Cirebon nama lainnya. Sembilan tahun sudah ia berada di Pulau Jawa.

Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, mempunyai penilaian tersendiri kepada Syarif Hidayat. Demi untuk kepentingan penyebaran Islam, Sang Tumenggung mewariskan tahtanya, kepada suwan yang sekaligus menantunya, Syarif Hidayat.

Syarif Hidayat dilantik menjadi Raja Cirebon oleh uwanya Pangeran Cakrabuana, sebagai Tumenggung Kerajaan Cirebon, dengan gelar Susuhunan Jati.

Syarif Hidayat menjadi raja mahardika, memerdekakan diri dari naungan Sunda Pajajaran di bumi Jawa Barat. Pada waktu itu, para Wali Sanga di Jawa Timur, menyambut gembira menyerukan pujian atas penobatannya, dan semua memberikan dukungan.

Semua pimpinan masyarakat desa di Cirebon sangatlah sukacita. Pejabat penguasa daerah, pesta meriah, mengadakan syukuran di Paseban Keraton Pakungwati.

Untuk mengukuhkan penobatan Susuhunan Jati, dilakukan oleh para Wali dari Jawa Timur, yang dihadiri pula oleh Raden Fatah sebagai Sultan Demak. Mereka hadir di Keraton Pakungwati Cirebon, disertai armada laut dan balatentara Kesultanan Demak, yang dipimpin oleh Panglima Fadhillah Khan.

Kemudian Wali Sanga menganugrahi gelar kekuasaan kepada Susuhunan Jati menjadi Panetep Panatagama rat Sunda i Bhumi Jawa Kulwan (Panetep Panatagama kawasan Sunda di Bumi Jawa Barat) berkedudukan di negeri Cirebon.

Karena tanpa persetujuan pemerintahan pusat (Pakuan Pajajaran), Sri Baduga Maharaja mengutus Tumenggung Jagabaya bersama pasukan pengawalnya, untuk menertibkan dan mengatasi keadaan di Cirebon.

Ketika Tumenggung Jagabaya beserta pasukan pengawalnya tiba di Cirebon, mereka disergap di Gunung Sembung oleh pasukan gabungan Cirebon-Demak yang dipimpin oleh Senapati Demak Fadhillah Khan. Tumenggung Jagabaya dan pasukan pengawalnya, akhirnya masuk agama Islam.

Karena Tumenggung Jagabaya serta pasukan pengawalny, lama tidak kembali ke Pakuan, Sri Baduga Maharaja segera mempersiapkan angkatan perang besar Kerajaan Sunda Pajajaran. Akan tetapi, niatnya untuk menyerang Pakungwati Cirebon, dapat dicegah oleh penasihatnya Ki Purwagalih.

Ki Purwagalih mengungatkan kepada Prabu Siliwangi, bahwa:
Syarif Hidayat, adalah cucunya sendiri dari Larasantang.
Syarif Hidayat, adalah menantu Walangsungsang, atas pernikahannya dengan Pakungwati.
Penobatan awal Syarif Hidayat, atas kehendak Pangeran Cakrabuana, puteranya sendiri.

"Betapa tidak terpujinya, Sang Kakek memerangi cucunya," Inilah yang dinasihatkan oleh Ki Purwagalih kepada Sri Baduga Maharaja.

Syekh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayat, berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka. Di makamkan di Cirebon tepatnya di Gunung Sembung/Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat pada usia 120 tahun.

Beliau mempunyai beberapa istri diantaranya:
  1. Nyai Kawunganten puteri Sang Surasowan (Bupati Banten dari Pajajaran, yang berada di Banten Pesisir) atau adik Sang Surajaya, menikah sekitar pada tahun 1470-1480 Masehi dan berputera: Ratu Wulung Ayu/Ratu Winangon yang lahir tahun 1477 Masehi & Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakinkin, lahir 1478 Masehi.
  2. Dewi Pakungwati, puteri Walangsungsang (uwanya Syekh Syarif Hidayat) alias Ki Samadullah atau Ki Cakrabumi atau Haji Abdullah Iman atau Sri Mangana Pangeran Cakrabuana dengan Nyai Indang Geulis puteri Ki Danuwarsih.
  3. Nyai Babadan berputra Pangeran Turusmi.
  4. Syarifah Baghdad atau Syarifah Fatimah, puteri Syekh Datuk Kahfi dari istri bernama Khadijah, berputera: Pangeran Jaya Lelana/Pangeran Jaya Kelana – Lahir 1486 Masehi & Pangeran Bratakelana – Lahir 1490 Masehi.
  5. Nyai Gedeng Tepasan berputra Pangeran Pasarean atau Pangeran Muhammad Arifin, Nyai Ratu Ayu – Lahir 1493 Masehi & Ratu Wanawati Raras – Lahir 1525 Masehi.
  6. Tien Nio Ong/Ong Tien/Nyai Rara Sumanding mempunyai keturunan namun telah meninggal waktu bayi  – Lahir 1498 Masehi.


Para Putera-puteri:
  1. Ratu Ayu Pembayun bersuami Fadhilah Khan.
  2. Pangeran Pasarean atau Pangeran Muhammad Arifin dari istri bernama Nyai Gedeng Tepasan, beristri dengan Ratu Nyawa atau Ratu Ayu Wulan, janda mendiang Pangeran Bratakelana, berputera Pangeran Suwarga.
  3. Pangeran Jaya Lelana.
  4. Maulana Hasanuddin.
  5. Pangeran Bratakelana menikah dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan).
  6. Ratu Winangon/Ratu Wulung Ayu.
  7. Pangeran Turusmi.


Minggu, 30 Desember 2012

Ketika Manusia Harus Menentukan Pilihan




Sudah dari Dulu manusia diciptakan sebagai makhluk yang esentrik dan fenomenal, esentrik dalam karya fenomenal dalam hal nyata serta realita dan oleh sebab itu akan tiada kunjung berakhir mengurai keindahan yang ada dalam diri seorang manusia. Maka selanjutnya sering kali membuat hal yang baru dalam semua bidang serta hal ahwal dalam sipat dan pekerjaan akan dijadikan pilihan, apakah dia menggunakan atau meninggalkannya. Tak jarang pula mengarungi seluk beluk realita alam ini banyak berbagai pilihan yang mesti jeli mana yang harus diutamakan mengesampingkan hal yang kurang begitu perlu. Akan beda akhirnya manakala langsung diperbuat tampa mengadakan pilihan. Kadang berakibat baik dan tak jarang pula berakhir dengan keburukan.

Untuk mengejar target misalnya, diusahakan berbagai kemampuhan yang dimiliki agar tercapai dan berhasil. Hanya dengan trik dan cara yang sehatlah keberhasilan itu dicapai dan dirasakan plong dihati, sumerah dalam jiwa. Namun semua itu, bila belum waktunya keberhasilan didapat, maka secara naluri fitrah manusia akan berjiwa pasrah saja, karena selebihnya perbuatan dan keberhasilan itu tiada lepas dari kuasa Ilahi semata. Betapapun manusia banting tulang bekerja keras tak akan menembus tirai takdir.