Ads 468x60px

Tampilkan postingan dengan label Banten. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Banten. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 November 2023

Adakah Perang Itu Di Banten



 




Perang Ayah-anak Di Banten, Adakah ?


Untuk menelusuri sejarah, apakah benar ada peperangan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji dan apa motif di balik itu. Dimana peperangannya. Kapan itu terjadi. Dengan siapa-siapa peperangan itu?


Disini penulis akan mengurai sedikit tentang jawaban dari pertanyaan tersebut.


Sebelumnya, Apabila kesulitan menemui fakta sejarah sebuah kejadian di masa lampau oleh karena terbentur referensi dari buku-buku yang memuat sejarah, data primer dan atau sekunder semisal tambo, wawacan dan atau babad sekalipun, dimana buku-buku tersebut memang tidak ada bercerita tentang hal dimaksud, jikapun ada, meski terbilang langka, akan masuk pada data sekunder, hanya penguat data primer dari buku sejarah yang otentik peninggalan masa lalu dan fakta dilapangan. Maka ketika ada sebuah karya sastra, isinya tidak mengurai fakta sejarah, hanya mengetengahkan sebuah kejadian persis terjadi kala itu, dengan menyebut tokoh dan tempat seperti benar-benar itu tokoh dan juga tempat serta kejadiannya, meski faktanya tidak seperti itu. Maka karya sastra berjudul, Agon, Sulthan van Bantam (1769), karya Onno Zwier van Haren (1713-1779), di tulis satu abad setelah kejadian peperangan, tidak jauh dari waktunya, seyogyanya patut dipilih untuk dikaji bahkan diteliti, siapa tahu isinya yang selama ini di cari-cari.


Penulis suguhkan sedikit dari isi karya sastra itu dalam substansinya, tidak seutuhnya. Fakta sejarah, bukan isi dramanya.


Fakta Sejarah

1. Ageng wil zijn jongste zoon Purbaja tot zijn opvolger benoemen. Daardoor ontstaat een gespannen verhouding in de familie. Hadji onderhandelt met de Compagnie.

1. Ageng ingin mengangkat putra bungsunya, Purbaya, sebagai penggantinya. Hal ini menciptakan hubungan yang tegang dalam keluarga. Hadji bernegosiasi dengan Kompeni.


Drama

1. Agon wil zijn rijk verdelen. Daardoor is er tweedracht in het gezin ontstaan. Abdul heeft zijn vertrouweling Steenwijk om hulp naar Batavia gestuurd.

1. Ageng ingin membagi kerajaannya. Akibatnya telah menciptakan perselisihan dalam keluarga. Abdul telah mengirim orang kepercayaannya, Steenwijk untuk meminta bantuan ke Batavia.


Fakta

2. Ageng abdiceert, Hadji volgt op. 

2. Ageng turun tahta, Hadji menggantikan. 


Drama

2. Agon verdeelt zijn rijk.

2. Agon membagi kerajaannya.


Fakta

3. Ageng wordt door een groot deel van de Bantamse gewesten weer als sultan erkend.

3. Ageng dipulihkan kembali sebagai sultan oleh sebagian besar wilayah Bantam kembali sebagai sultan yang diakui.


Drama

3. Doordat Abdul verraad gepleegd heeft, wordt die verdeling niet geëffectueerd.

3. Karena Abdul melakukan pengkhianatan, pembagian itu tidak akan terlaksana.


Fakta

4. Ageng belegert het kasteel van Hadji, die hulp krijgt van de Hollanders.

4. Ageng mengepung istana Hadji(Surasowan), yang mendapat bantuan dari Belanda.


Drama

4. Abdul wordt gearresteerd, maar krijgt hulp van de Hollanders, met wie Agon in oorlog raakt.

4. Abdul ditangkap, tetapi mendapat bantuan dari Belanda, yang kemudian mengajak Ageng berperang.


Fakta

5. Ageng wordt gevangengenomen; Hadji is van zins hem te doden.

5. Ageng ditangkap; Hadji berniat untuk membunuhnya.


Drama

5. Agon sterft aan de verwonding, hem door Abdul toegebracht.

5. Agon meninggal karena cedera yang dideritanya ditimbulkan oleh Abdul.


Substansi Keaslian Sejarah dalam karya drama "Agon, Sulthan van Bantam", dikomentari pengulasnya, Dr. G.C. de Waard.


Substansi dan Kesimpulan.

Kesultanan Banten merupakan salah satu kerajaan terkuat di Pulau Jawa pada abad ketujuh belas. Pada paruh kedua abad itu diperintah oleh Abul Fathi Abdul Fattah yang tegas dan cakap dalam menjalankan roda pemerintahan, lebih dikenal dengan julukan Ageng (= yang agung). Meskipun dominasi perdagangan East India Company, VOC menjadi duri di dirinya, namun setelah naik takhta pada tahun 1651 tidak ada perubahan resmi dalam hubungan bilateral dengan Batavia yang telah diatur melalui perjanjian persahabatan tahun 1645 oleh sang kakek. Setahun setelah perjanjian ini masuk ke periode kedua telah diperpanjang selama sepuluh tahun, namun Sultan Ageng berkeberatan atas adanya perjanjian itu, ia mulai bermanuver agar ada sebuah perubahan perjanjian. Kompeni menanggapinya dengan memblokade Banten, tentu sangat merugikan kepentingan perdagangannya. Butuh waktu hingga tahun 1659 dimana perjanjian baru akan disepakati kembali, mengingat saat ini sedang berada dalam kondisi perjanjian perdamaian itu.

Perdamaian antara Batavia dan Banten terpelihara selama lebih dari dua puluh tahun. Artinya, Sultan Ageng secara resmi mematuhi ketentuan perjanjian, namun secara diam-diam ia berusaha melemahkan Belanda, termasuk dengan mendukung Makassar (Sulawesi Selatan) yang sudah berkali-kali menunjukkan penolakannya terhadap Kompeni.

Permasalahan antara Makassar dan Kompeni terjadi sekitar tahun 1615, ketika Kompeni menyandera dua orang Makassar – salah satunya adalah kerabat raja – sehubungan dengan hutang sultan. Sejak itu hubungan mereka tetap tegang; perjanjian tahun 1637, 1655 dan 1660 tidak dipatuhi oleh Makassar. Kompeni kemudian memutuskan penyelesaian akhir dan mengirim armada ke Sulawesi pada akhir tahun 1666 di bawah komando Gubernur Jenderal Cornelis Janszoon Speelman. Baru menjelang akhir tahun berikutnya Sultan Malombassa Hasanuddin dapat dipaksa berdamai. Namun Hasanuddin sekali lagi tidak menepati perjanjian tersebut, dan permusuhan baru akhirnya berujung pada penaklukan terakhir Makassar pada pertengahan tahun 1669, setelah Speelman berhasil merebut benteng terakhir, benteng Sambupo. Setelah itu Hasanuddin tidak bisa berbuat apa-apa; atas izin Kompeni ia tetap menjadi sultan Goa, salah satu provinsi di Hindia Belanda.

Hasil ekspedisi melawan Makassar mempunyai implikasi bagi Pulau Jawa. Setelah keberhasilan Belanda, sejumlah besar orang Makasar pindah ke Jawa (awalnya banyak yang tinggal di Banten), dimana mereka lebih banyak menyibukkan diri dengan pembajakan. Mereka menjalin kontak dengan pemberontak penentang susuhunan Mataram, Amangkurat I. Kesulitan di Jawa Timur bertambah ketika raja ini meninggal dan banyak yang tidak mau mengakui putranya sebagai penerusnya. Kompeni terpaksa melakukan intervensi.

Sultan Ageng, yang terus-menerus diupayakan pengaruhnya oleh Inggris agar merugikan Kompeni, kini merasa mempunyai peluang. Ia mendukung para pemberontak dan berusaha menghalangi sunan baru, Amangkurat II, untuk bersekutu dengan Batavia. Ia kemudian mencoba mempengaruhi para pangeran Cirebon yang berada di bawah kedaulatan Mataram. Para pangeran ini, tiga bersaudara, datang ke Banten dijadikan alat tawar sebagai sandera di istana di Banten. Sultan Ageng melepaskan mereka, dengan memberikan syarat bahwa mereka akan didudukkan di wilayah tertentu sehingga akan menimbulkan lebih banyak masalah bagi Kompeni. Wilayah Cirebon dibagi tiga kekuasaan; Kasepuhan, Kanoman dan panembahan. Pada saat yang sama ia mengancam Batavia akan diperangi jika mengganggu Cirebon. Namun, perbedaan pendapat di kalangan keluarga kesultanan Banten memberikan peluang bagi Kompeni, yang terhambat oleh tindakan Sultan Ageng di Jawa Tengah dan Timur, untuk terhindar dari kesulitan tersebut.

Menurut tradisi di Kesultanan atau Papakem Banten, Sang Sultan harus mengangkat putra sulungnya, maka diangkatlah Abun Nashri Abdul-Kahar, sebagai wakil bupati, putra mahkota. Kemudian dikenal dalam sejarah sebagai Sultan Haji, oleh karena ia sedang menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada tahun 1674-1676. Selama ketidakhadirannya di kesultanan, penyelenggara pemerintahan (kira-kira: perdana menteri) Sultan Ageng menerima usulan dari para penasehat untuk mengangkat putra bungsunya, Pangeran Arya Purbaya, - yang merupakan menantu penyelenggara pemerintahan, mangkubumi - sebagai pewaris takhta. Namun, setelah kembalinya pangeran Haji maka terjadi ketegangan hubungan di keluarga kesultanan. Kompeni, yang ingin mengambil keuntungan dari perselisihan tersebut, mengadakan negosiasi rahasia dengan pangeran Haji, agar selalu kawatir akan takhta jatuh pada saudaranya, pangeran Haji pun merasa cemas juga. Namun, keadaan tiba-tiba berubah menjadi lebih baik bagi putra mahkota, Pangeran Haji, ketika pada tanggal 1 Mei 1680, terjadi perubahan kebijakan dimana istana yang memaksa Sultan Ageng, yang telah memutuskan untuk memulai perang melawan Kompeni, agar mengundurkan diri. Tahta di serahkan pada Pangeran Haji. Alhasil, negosiasi antara Sultan Haji dan Kompeni mengenai perjanjian perdamaian baru pun gagal: karena Batavia mengajukan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi oleh Sultan Haji. Itu sebabnya mereka akan melakukan aturan yang ada tanpa  mengadakan perjanjian baru untuk saat ini.

Tak lama kemudian, banyak orang yang merasa tidak puas dengan pemerintahan sultan yang baru; mereka menuju ke arah Sultan Ageng yang sedang berada di istana Tirtayasa. Mereka mengangkat Sultan Ageng dan mendaulatnya setelah sebagian besar provinsi kembali mengakuinya sebagai penguasa mereka bukan Sultan Haji, Sultan Ageng memulai perang melawan putranya pada bulan-bulan pertama tahun 1682, mengepungnya di benteng Surasowan. Benteng ini diperbaharui dengan tambahan batu di lapisan luarnya oleh seorang tukang batu dari Steenwijk, pemberontak Hendrik Laurensz. Cardeel, juga dikenal sebagai Jan Lucasz dimana awalnya benteng ini dibangun pada lapisan dalam menggunakan bata di era Maulana Yusup. Menurut Van Haren, disebutkan, Sultan Haji meminta bantuan Kompeni di Batavia. Pasukan ini mengirimkan pasukan melalui laut ke Banten, di bawah komando Isaäc de Saint Martin, komandan garnisun di Batavia dan dalam kapasitas tersebut menjadi panglima tertinggi tentara Kompeni. Sementara itu, permohonannya baru diterima Gubernur Jenderal Speelman dari Sultan Hadji, setelah berjanji akan memberikan monopoli perdagangan kepada Kompeni dan menanggung biaya yang terkait dengan intervensi tersebut.

Surasowan dapat dikuasai, Sultan Haji di amankan di tahan loji yang di kuasai pasukan Banten. Belanda menawarkan solusi.

Ketika Sultan Ageng tidak menanggapi tawaran mediasi Kompeni dari De Saint Martin, upaya pendaratan pun dilakukan; Namun upaya ini gagal, sehingga perlu dimintakan bala bantuan. Setelah pasukan baru tiba di bawah komando Kapten François Tack, dan upaya lain dilakukan, kali ini berhasil; Pada siang hari (tanggal 7 April 1682), Banten, dalam hal ini Surasowan berhasil ditaklukkan dan Sultan Haji merasa lega. Ia segera mengusir orang Inggris, Prancis, dan Denmark yang berpihak pada ayahnya; mereka diizinkan menetap di Batavia untuk sementara waktu.

Sultan Ageng tidak menyerah untuk meninggalkan pertarungan, sehingga ia dikepung oleh pasukan Tack di Tirtayasa. Ketika dia tidak dapat lagi mempertahankan dirinya di sana, dia melarikan diri bersama Pangeran Purbaja dan loyalis lainnya sebelumnya membumihanguskan istana Tirtayasa, setelah itu ia bergerilya melanjutkan pertempuran dari tempat lain. Pada tahun 1683 dia harus menyerah dengan keadaan sudah tua dan udzur, saat itu usianya 66 tahun. Ia , selama dua tahun di tahan di penjara Banten, lalu dibawa ke Batavia 9 tahun lamanya, disana ia meninggal pada tahun 1692 sebagai tahanan di usia 72 tahun. Atas permintaan cucunya ia dibawa ke Banten, dimakamkan di Kompleks Permakaman Raja-Raja Banten yang berada di sebelah utara Masjid Agung Banten, Banten Lama.


Sultan Hadji menandatangani perjanjian dengan Kompeni pada tanggal 17 April 1684, yang - setelah perjanjian dibuat dengan Mataram (1677) dan Cheribon (1681) - menguasai hampir seluruh perdagangan di Jawa. Sementara Speelman meninggal pada 11 Januari 1684. Benteng  Belanda yang dibangun di Banten diberi nama Speelwijk untuk mengenang namanya.


Ada tambahan penulis sebagai pelengkap.


Atas jasa-jasanya yang diberikan kepada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, tanggal 1 Agustus 1970.


Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga kemudian diabadikan menjadi nama salah satu perguruan tinggi negeri di Banten, yaitu Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.


Sultan Haji meninggal lebih awal dari ayahnya, tahun 1687 dalam usia 29 tahun.


Senin, 07 Januari 2013

Sultan Haji




Sultan Haji merupakan salah seorang putera dari Sultan Abulfath Abdulfattah atau Sultan Ageng Tirtayasa  pewaris Kesultanan Banten. Namanya Sultan Abunnashri Abdulkahar atau Abdulqohhar namun lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Ia mendapatkan tahtanya bekerja sama dengan Belanda setelah menggulingkan ayahnya. Hal ini menimbulkan banyak spekulasi, mengingat jika ia pewaris syah dari Kesultanan Banten seharusnya tanpa melakukan kudeta terhadap ayahnya pun, ia dapat menerima tahta tersebut.

Masalah ini dimungkinkan ketidak sabaran Sultan Haji untuk segera menduduki jabatannya, karena ada putra Sultan Ageng lainnya yang bernama Pangeran Purbaya dianggap mampu menggantikan Sultan Ageng, atau Sultan merasa kurang sreg terhadap perilaku Sultan Haji. Namun dimungkinkan pula ada hasutan Belanda, mengingat hubungan Belanda dengan Sultan Ageng dan para pendahulunya kurang baik. Sedangkan jika mendukung Sultan Haji maka Belanda akan lebih mudah menguasai perdagangan di Banten.

Spekulasi terakhir ini yang mungkin paling mendekati, mengingat ada simbiosa mutualisma antara Belanda yang bertujuan melancarkan kepentingan dagangnya dan Sultan Haji yang mengincar jabatan kesultanan. Ketika terjadi peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji yang dibantu Belanda istana habis terbakar, tidak sedikit pula perkampungan menjadi musnah.

Sejak Sultan Haji bertahta banyak peristiwa-peristiwa yang sangat merugikan Kesultanan Banten, baik masalah perekonomian negara maupun perpolitikannya. Banyak sudah pemberontakan yang dilakukan rakyat termasuk para pendukung setia Sultan Ageng. Tabiat Sultan Haji dalam menghadapi Belanda pun sangat bertolak belakang dengan para pendahulunya. Sultan Haji sangat mengandalkan bantuan militer dan bantuan ekonomi Belanda, berakibat Banten tidak lagi memiliki kedaulatan penuh, bahkan Belanda sangat mempengaruhi struktur pemerintahan Banten.

Kata Untoro (2007) menyebutkan, sejak ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 april 1684 praktis kukuasaan Kesultanan Banten dapat dianggap runtuh. Lebih lanjut menyebutkan : Perjanjian antara Kesultanan Banten dengan Belanda ditandatangani di Keraton Surasowan, dibuat dalam bahasa Belanda dan Jawa dan Melayu. Penanndatanganan dari pihak Kompeni dilakukan oleh komandan dan presiden komisi Franscois Tack, Kapten Herman Dirkse Wendepoel, Evenhart van der Schuere serta Kapten bangsa Melayu, Wan Abdul Kahar, sedangkan dari pihak Banten dilakukan oleh Sultan Abdul Kahar, pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tadjudin, pangeran Natanegara, dan pangeran Natawijaya (Tjandrasasmita : 1967 : 54). Sejak perjanjian tersebut Kompeni secara langsung aktif menentukan monopoli perdagangan Banten.

Beberapa diantara peninggalannya yang monumental, ia membangun daerah-daerah yang rusak akibat perang, selain itu ia membangun kembali istana Surosowan. Untuk membangun istana Surasowan iapun meminta bantuan Cardeel, seorang arsitek Belanda. Iapun mengganti cara berpakaian dari berpakaian ala Banten menjadi cara berpakaian Arab, sekalipun pernah ditentang oleh Sultan Ageng ketika ia masih berkuasa.

Sultan Haji meninggal dan dimakamkan di Sedakingkin, sebelah utara mesjid Agung, sejajar dengan makam Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji dikarunia beberapa orang anak, antara lain Pengeran Ratu yang kemudian menggantikan tahtanya sebagai Sultan Banten yang dikenal dengan sebutan Sultan Abulfadhl Muhammad Yahya (1687-1690), Raja / Sultan kedelapan di Kesultanan Surasowan Banten.. Namun hanya sebentar dan tidak mempunyai keturunan.

Para putera Sultan Haji:
  1. Sultan Abulfadhli/Abulfadhal Muhammad Yahya
  2. Sultan Abul Mahasin Zainal 'Abidin
  3. Pangeran Muhammad Thahir
  4. Pangeran Fadhludin
  5. Pangeran Ja'farrudin
  6. Ratu Muhammad Alim
  7. Ratu Rohimah
  8. Ratu Hamimah
  9. Pangeran Ksatrian
  10. Ratu Mumbay (Ratu Bombay)

Minggu, 06 Januari 2013

Sultan Ageng Tirtayasa




Sultan Ageng Tirtayasa

Satu tahun setelah pengangkatan Pangeran Surya menjadi Sultan Anom yakni tahun 1651, sang kakek, penguasa Kesultanan Surasowan Banten meninggal dunia. Tahta Kesultanan Surasowan Banten, dilanjutkan oleh cucunya, Pangeran Surya alias Pangeran Ratu. Pangeran Surya alias Pangeran Ratu adalah putera Sultan Abulma'ali Ahmad Kanari yang menjadi Sultan Anom sepuluh tahun lamanya (1640-1650).

Pangeran Surya, melanjutkan hubungan internasional dengan dunia luar, terutama dengan kekhalifahan di dunia Islam yang berpusat kala itu di Mekah. Pangeran Surya mengutus beberapa pembesar kerajaan, untuk urusan itu sambil memberitakan pergantian pimpinan di Kesultanan Surasowan Banten dan dunia perdagangan di Nusantara. Sepulang dari Tanah Suci Mekah, delegasi Kesultanan Surasowan Banten, membawa gelar dari Syekh Mekah untuk Pangeran Surya atau Pangeran Ratu, dengan sebutan Sultan Abulfath Abdulfattah.

Selaku penguasa Kesultanan Surasowan Banten, Sultan Abulfath Abdulfattah dikenal tegas dan cakap dalam menjalankan roda pemerintahan. Dia pun berusaha untuk mengembalikan kejayaan Banten seperti pada waktu pemerintahan dua pendahulunya, yakni Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf. Guna mewujudkan harapan tersebut, sultan langsung mengeluarkan sejumlah kebijakan. Antara lain, memajukan perdagangan Banten dengan meluaskan daerah kekuasaan dan mengusir Belanda dari Batavia.

Berkat kebijakannya itu, dalam waktu tidak terlalu lama, Banten telah menjadi kota pelabuhan dagang yang penting di Selat Malaka. Kondisi ini tidak disukai VOC. Mereka lantas memblokade Banten.

Dari sebelum memerintah, sebenarnya Sultan Abulfath telah mengamati bahwa kedudukan Belanda di Batavia pada satu saat nanti akan membahayakan Banten. Dengan monopoli perdagangan VOC di Batavia, tentu sangat merugikan kehidupan perekonomian Banten pada umumnya. Para pedagang asal Cina dan Maluku yang biasanya berlabuh di Banten, dipaksa untuk singgah di Batavia.

Tiga tahun sudah blokade berjalan dan dampaknya kian terasa. Maka dengan terpaksa Banten mengadakan perjanjian dengan VOC yang menyatakan bahwa hak-hak Belanda diakui dan perdagangan Banten dibatasi oleh Belanda. Akan tetapi, beberapa bulan itu, Sultan Abulfath meniadakan perjanjian tadi dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Pada saat bersamaan, Sultan Abulfath juga berkeinginan mewujudkan Banten menjadi kerajaan Islam terbesar. Ada dua hal yang ia lakukan. Pertama, di bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru serta irigasi yang sekaligus berfungsi sebagai sarana perhubungan. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan dan penasehat sultan dalam bidang pemerintahan.

Selain itu, sultan memang terkenal sangat menaruh perhatian bagi pengembangan agama Islam. Oleh karenanya dia menggalakkan pendidikan agama, baik di lingkungan kesultanan maupun di masyarakat melalui pondok pesantren. Agama Islam pun berkembang pesat, terlebih ditunjang dengan banyaknya sarana dan prasarana peribadatan seperti mushala dan masjid.

Di masa pemerintahannya, Sultan Abulfath punya dua orang putra, yakni Pangeran Gusti (yang kemudian bergelar Sultan Haji) dan Pangeran Purbaya. Putra mahkota Atau Sultan Muda adalah putranya yang tertua yaitu Pangeran Gusti. Namun sebelum diserahi tanggung jawab selaku sultan muda, Pengeran Gusti dikirim ayahnya ke Tanah Suci Makkah, guna menunaikan ibadah haji. Ini dimaksudkan agar Pengeran Gusti dapat melihat dari dekat perkembangan Islam di berbagai negara demi meluaskan wawasan bagi pengembangan agama di Banten. Selama Pengeran Gusti berada di Makkah, tugas-tugas pemerintahan untuk urusan dalam negeri, sementara dipercayakan kepada Pangeran Purbaya oleh Sultan Abulfath, karena Sultan Abulfath hanya mengurusi urusan luar negeri saja.

Beberapa tahun kemudian, Pangeran Gusti kembali ke Banten yang kini lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Namun dia melihat peranan yang makin besar dari adiknya dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini memicu pertikaian antara Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, demikian pula antara Sultan Haji dan Sultan Abulfath, ayahnya sendiri.

Sejak Sultan Abulfath bertentangan dengan anaknya, beliau sering pergi ke dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang) dan mendirikan keraton baru. Karena itulah, orang lantas lebih mengenalnya dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa. Sebutan ini menjadi masyhur bahkan di kalangan bangsa asing.

Adanya konflik di internal kesultanan, rupanya tidak luput dari perhatian Belanda. Mereka memanfaatkan kondisi ini dan mendekati Sultan Haji agar menentang kebijakan ayahnya. Belanda juga 'memanas-manasi' Sultan Haji sehingga mencurigai Sultan Ageng Tirtayasa serta menyangka ayahnya kelak akan mengangkat Pengeran Purbaya sebagai sultan.

Kekhawatiran ini membuat Sultan Haji bersedia mengadakan perjanjian dengan Belanda yang intinya adalah persekongkolan merebut kekuasaan dari tangan Sultan Ageng Tirtayasa. Tahun 1681, Sultan Haji mengkudeta ayahnya dari tahta kesultanan.

Sementara itu, Sultan Ageng Tirtayasa setelah penggulingan kekuasaan tersebut, tidak lantas berdiam diri. Beliau langsung menyusun kekuatan bersenjata guna mengepung Sultan Haji di Sorosowan (Banten). Karena terus terdesak, akhirnya Sultan Haji meminta bantuan Belanda. Kaum imperialis ini segera mengirimkan ribuan tentara ke Banten untuk melepaskan Sultan Haji.

Dipimpin Kapiten Tack dan de Saint Martin, Belanda juga menyerang benteng Tirtayasa dan dapat di taklukkannya meski menderita kerugian besar. Akan tetapi sebelum Belanda memasuki benteng tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa sempat terlebih dulu membakar seluruh isi benteng dan lantas melarikan diri bersama Pangeran Purbaya dan pengikutnya. Walau pertahanan terakhir Sultan Ageng sudah jatuh, namun Belanda tidak otomatis dapat memadamkan perlawanan rakyat Banten.

Sultan Ageng masih mengadakan perjuangan secara gerilya. Akan tetapi, lama kelamaan Belanda dapat mendesak mereka ke wilayah selatan. Hingga kemudian di tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap melalui tipu muslihat Belanda dan Sultan Haji. Beliau akhirnya dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya pada tahun 1692. 

Atas permintaan pembesar dan rakyat Banten, jenazah Sultan Ageng Tirtayasa dapat dibawa kembali ke Banten. Pemimpin kharismatik ini, dimakamkan di sebelah utara Masjid Agung Banten bersama nenek moyangnya dan bukan di Tirtayasa. Atas jasa-jasanya itu, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1975. Sultan Ageng Tirtayasa Abulfath Abdulfattah memerintah Kesultanan Surasowan Banten dari tahun 1650 hingga tahun 1672.

Sultan Ageng Tirtayasa memiliki banyak putera dari beberapa istri, diantaranya:
  1. Sultan Haji
  2. Pangeran Arya 'Abdul 'Alim
  3. Pangeran Arya Ingayudadipura
  4. Pangeran Arya Purbaya
  5. Pangeran Sugiri
  6. Tubagus Rajasuta
  7. Tubagus Rajaputra
  8. Tubagus Husen
  9. Raden Mandaraka
  10. Raden Saleh
  11. Raden Rum
  12. Raden Mesir
  13. Raden Muhammad
  14. Raden Muhsin
  15. Tubagus Wetan
  16. Tubagus Muhammad 'Athif
  17. Tubagus Abdul
  18. Ratu Raja Mirah
  19. Ratu Ayu
  20. Ratu Kidul
  21. Ratu Marta
  22. Ratu Adi
  23. Ratu Ummu
  24. Ratu Hadijah
  25. Ratu Habibah
  26. Ratu Fatimah
  27. Ratu Asyiqoh
  28. Ratu Nasibah
  29. Tubagus Kulon

Sultan Anom Abulma'ali Ahmad Kanari




Sultan Abulma'ali Ahmad, tidak diketahui persis kapan tahun lahirnya. Pada tahun 1640, putera mahkota yaitu Pangeran Ahmad bergelar Abulma'ali, diangkat menjadi Sultan Anom. Akan tetapi, baru sepuluh tahun, tepatnya tahun 1650, Sultan Anom meninggal dalam usia muda mendahului ayahnya, Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Maka dalam kesultanan, beliau belum sempat banyak mengabdikan diri pada Kesultanan Surasowan Banten.

Dari permaisuri Ratu Martakusuma, puteri Pangeran Jayakarta, Sultan Anom Abulma'ali mempunyai anak, antara lain:

  1. Ratu Pembayun
  2. Pangeran Surya
  3. Pangeran Arya Kulon
  4. Pangeran Lor
  5. Pangeran Raja

Dari istri yang lain, Sultan Anom Abulma'ali mempunyai putera dan puteri diantaranya:

  1. Ratu Panenggak
  2. Ratu Nengah
  3. Ratu Wijil
  4. Ratu Puspita
  5. Pangeran Arya Ewaraja
  6. Pangeran Arya Kidul
  7. Ratu Tinumpuk
  8. Ratu Inten
  9. Pangeran Arya Dipanegara
  10. Pangeran Arya Ardikusuma
  11. Pangeran Arya Wetan
  12. Ratu Ayu Ingalengkadipura

Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir




Sultan Abulmafakhir lahir pada tahun 1596 Masehi. Pada saat usia sembilan bulan tahun itu juga, sang ayah, Maulana Muhammad meninggal dalam usia 25 tahun. Sebagai penganti, Abulmafakhir dinobatkan menjadi Sultan Banten yang keempat di Kesultanan Surasowan Banten menggantikan ayahnya, bergelar Sultan Abulmafakhir. Karena Sultan masih berumur sembilan bulan, beliau didampingi sang kakek, Mangkubumi Jayanagara, sebagai Wali Kesultanan hingga meninggal pada tahun 1602. Selanjutnya jabatan Wakil Kerajaan diserahkan pada adiknya Mangkubumi Jayanegara. Kedudukan Mangkubumi ini, tidak berlangsung lama. Sebab sikap dan tindakannya tidak sesuai dengan jabatannya. Akhirnya pada tanggal 17 Nopember 1602, ia diturunkan dari jabatannya. Perwalian terpaksa dipegang langsung oleh ibunda Sultan, Ratu Wanagiri. Akan tetapi Ratu Wanagiri yang bersetatus janda, menikah lagi dengan seorang bangsawan keraton. Suaminya diangkat menjadi Mangkubumi hingga tanggal 23 Oktober 1608 saat dimana Mangkubumi ini meninggal. Selanjutnya tugas perwakilan Kesultanan dan jabatan Mangkubumi, dipegang oleh Pangeran Arya Ranamanggala. Baru setelah tanggal 13 Mei 1626, kala Pangeran Arya Ranamanggala meninggal, kekuasaan sepenuhnya, diserahkan kepada Sultan Abulmafakhir. 

Sebagaimana ayah dan kakek buyutnya, Sultan Abulmafakhir pun seorang ulama yang saleh. Beliau banyak menyusun kitab-kitab ilmu agama Islam, diantaranya Insan Kamil. Sultan Abulmafakhir, adalah penguasa Kesultanan Surasowan Banten pertama yang dikukuhkan oleh Syekh Mekah, dan mendapat gelar Sultan Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Gelar ini diperolehnya, ketika ia mengutus putera mahkota dan beberapa pembesar negara, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah. Begitu pila dengan putera mahkotanya, mendapat gelar Sultan Abulma'ali Ahmad. Oleh masyarakat Kesultanan Surasowan Banten, Sultan Abulmafakhir mendapat sebutan Sultan Agung Kanari.

Pada tahun 1640, putera mahkota, Abulma'ali, diangkat menjadi Sultan Anom. Akan tetapi, baru sepuluh tahun, tepatnya tahun 1650, Sultan Anom meninggal dalam usia muda mendahului ayahnya. Maka kedudukan Sultan Anom diserahkan kepada Pangeran Surya saat tahun itu juga. Pangeran Surya adalah cucu Sultan Abulmafakhir atau putera Sultan Abulma'ali dari permaisuri, Ratu Martakusuma, puteri Pangeran Jayakarta, yang kemudian hari bergelar Sultan Agung Tirtayasa.

Sultan Abulmafakhir meninggal dunia pada tahun 1651. Tahta Kesultanan Surasowan Banten dilanjutkan oleh cucunya, Pangeran Surya alias Pangeran Ratu, selanjutnya bergelar Sultan Ageng Tirtayasa.

Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir dari Permaisuri, Nyi Mas Ratu Ayu atau Nyi Mas Ratu Dawi Saminah nama lainnya, Puteri Rangga Singasari atau Pangeran Arya Adikara, berputera hanya satu yaitu Abul Ma'ali Ahmad bergelar nama Sultan Abulma'ali Ahmad Kanari.

Dan dari istrinya yang lain, Sultan Abulmafakhir berputera:

  1. Ratu Dewi
  2. Ratu Ayu
  3. Pangeran Arya Banten
  4. Ratu Mirah
  5. Pangeran Sudamanggala
  6. Pangeran Ranamanggala
  7. Ratu Belimbing
  8. Ratu Gedong
  9. Pangeran Arya Maduraja
  10. Pangeran Kidul
  11. Ratu Dalem
  12. Ratu Lor 
  13. Pangeran Seminingrat
  14. Ratu Kidul
  15. Pangeran Arya Wiratmaka
  16. Pangeran Arya Danuwangsa
  17. Pangeran Arya Prabangsa
  18. Pangeran Arya Wirasuta
  19. Ratu Gading
  20. Ratu Pandan
  21. Pangeran Wirasmara
  22. Ratu Sandi
  23. Pangeran Arya Jayaningrat
  24. Ratu Citra
  25. Pangeran Arya Adiwangsa
  26. Pangeran Arya Sutakusuma
  27. Pangeran Arya Jayasantika
  28. Ratu Hafsah
  29. Ratu Pojok
  30. Ratu Pacar
  31. Ratu Bangsal
  32. Ratu Salamah
  33. Ratu Ratmala
  34. Ratu Hasanah
  35. Ratu Husaerah
  36. Ratu Kelumpuk
  37. Ratu Jiput
  38. Ratu Wuragil

Maulana Muhammad




Dari Permaisuri Ratu Hadijah, Maulana Yusuf mempunyai dua orang putera, yaitu:
  1. Ratu Winahon
  2. Pangeran Muhammad
Pada tahun 1580, Maulana Yusuf meninggal dunia. Ketika itu putera mahkota Pangeran Muhammad, baru berusia 9 tahun, dan di nobatkan menjadi Sultan Surasowan Banten yang ketiga. Ia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Ratu Banten. Untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari, Mangkubumi Jayanagara, bertindak sebagai walinya. Setelah menginjak dewasa, Pangeran Muhammad diserahi tugas kenegaraan, bergelar Maulana Muhammad Sang Pangeran Ratu Ing Banten.

Seperti halnya ayah dan kakeknya, yaitu Maulana Hasanuddin, Maulana Muhammad terkenal sebagai Sultan Banten yang saleh. Ia banyak menyusun kitab-kita hukum Islam dan mendirikan masjid, hingga ke pelosok-pelosok desa. Masjid Agung yang terletak di tepi alun-alun, diperindah, temboknya dilapisi porslen, dan tiangnya dibuat dari kayu cendana. Ia juga melakukan perluasan wilayah Kesultanan Banten, namun meninggal dunia di Palembang sewaktu mencoba menundukkan kawasan tersebut pada tahun 1596 pada usia 25 tahun. Ia memerintah sebagai penguasa di Banten pada rentang waktu 1585 - 1596 Masehi.

Beliau mempunyai putra satu yang bernama Pangeran Abdulmafakhir, yang baru berusia 9 tahun dari permaisuri bernama Ratu Wanagiri puteri Mangkubumi Jayanagara. Yang selanjutnya Abdulmafakhir diangkat sebagai pengganti ayahnya, melanjutkan tahta Kesultanan Surasowan Banten. Sultan yang masih bayi itu, didampingi oleh kakeknya, sebagai Wakil Kesultanan. Akan tetapi, pada tahun 1602, Mangkubumi Jaya negara meninggal dunia.

Selanjutnya jabatan Wakil Kerajaan diserahkan pada adiknya Mangkubumi Jayanegara. Kedudukan Mangkubumi ini, tidak berlangsung lama. Sebab sikap dan tindakannya tidak sesuai dengan jabatannya. Akhirnya pada tanggal 17 Nopember 1602, ia diturunkan dari jabatannya. Perwalian terpaksa dipegang langsung oleh ibunda Sultan, Ratu Wanagiri. Akan tetapi Ratu Wanagiri yang bersetatus janda, menikah lagi dengan seorang bangsawan keraton. Suaminya diangkat menjadi Mangkubumi.

Pangeran Muhammad bergelar Pangeran Ratu Ing Banten beristri Nyi Mas Ratu Ayu Wanagiri atau Nyi Mas Ratu Dewi Rahma nama lainnya, binti Pangeran Mangkubumi Jayanagara, berputera: Pangeran Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir.


Dari istri yang lain Maulana muhammad mempunyai putera, diantaranya:

  1. Pangeran Arya Upapati
  2. Pangeran Arya Adikara
  3. Pangeran Arya Mandalika
  4. Pangeran Arya Ranamanggala
  5. Pangeran Arya Seminingrat
  6. Ratu Demang
  7. Ratu Pecatanda
  8. Ratu Rangga
  9. Ratu Ayu Wiyos
  10. Ratu Manis
  11. Pangeran Manduraraja
  12. Pangeran widara
  13. Ratu Belimbing

Jumat, 04 Januari 2013

Maulana Yusuf




Maulana Yusuf, Sultan Banten II (1570-1580 M)
Gawe Kuta bulawarti bata kalawan kawis
Panembahan Sabakinkin atau Maulana Hasanudin, dari pernikahanannya dengan Ratu Ayu Kirana mempunyai putera yang di beri nama Pangeran Yusuf dan selanjutnya setelah memegang tampuk pemerintahan kerajaan, beliau menyandang gelar Maulana Yusuf, yang artinya seseorang yang ahli dalam agama Islam dalam mengayomi umat sekaligus memegang kekuasaan, mengurus tata kenegaraan sebagai pelayan rakyat. Selanjutnya, gelar maulana di kemudian hari di gantikan dengan Sultan yang amat beda fungsi dan tugasnya. Seperti juga ayahnya, Maulana Yusuf ingin memajukan Banten. Tapi pada masa Maulana Yusuf disamping pendidikan agama, juga lebih ditekankan pada bidang pembangunan kota, keamananan dan pertanian.

Pada masanya pulalah Ibukota Pajajaran (Pakuan) dapat ditaklukan oleh Banten. Para ponggawa kerajaan Pajajaran lalu dengan sukarela memilih Islam dan masing-masing memegang jabatannya seperti semula. Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, perdagangan di Banten semakin maju. bahkan bisa dikatakan bahwa pada saat itu Banten bagaikan kota penimbunan barang-barang (gudang) dari penjuru dunia yang nantinya disebarkan ke  berbagai tempai di masing-masing kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara. Sehingga Banten menjadi begitu ramai dikunjungi, baik dari luar maupun oleh para penduduk nusantara. Sehingga pada  masa pemerintahan Maulana Yusuf pulalah dibuatnya peraturan penempatan penduduk berdasarkan keahliannya dan asal daerahnya.

Perkampungan untuk orang asing biasanya ditempatkan diluar tembok kota. seperti Kampung Pakojan terletak  disebelah barat pasar Karangantu, untuk para pedagang dari Timur Tengah, Pecinan  terletak disebalh barat Masjid Agung, untuk para pedagang dari Cina. Kampung Panjunan (Untuk para Tukang Belanga, gerabah, periuk dsb), Kampung Kepandean (Untuk tukang Pandai besi), Kampung Pangukiran (Untuk Tukang Ukir), Kampung  Pagongan (Untuk tukang gong), Kampung Sukadiri (Untuk para pembuat senjata). Demikian pula untuk golongan sosial tertentu, seperti Kademangan (untuk para  demang), Kefakihan (Untuk para ahli Fiqih), Kesatrian (Untuk para Satria, perwira, Senopatai dan prajurit istana).

Pengelempokan pemukiman ini selain dimaksudkan untuk kerapihan dan keserasian kota, tapi lebih penting untuk keamanan kota. Tembok kota pun diperkuat dengan membuat parit-parit disekelilingnya. Dalam babad Banten disebutkan Gawe Kuta bulawarti bata kalawan kawis Perbaikan Masjid Agung Pun dikerjakannya, dan sebagai kelengkapan dibangun sebuah menara dengan bantuan Cek Ban Cut arsitek muslim asal Mongolia.

Disamping mengembangkan pertanian yang sudah ada, Sultanpun mendorong rakyatnya untuk membuka daerah-daerah baru bagi persawahan. Oleh karenanya sawah di Banten bertambah meluas sampai melewati daerah Serang sekarang. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah-sawah tersebut, dibuatnya terusan-terusan dan bendungan-bendungan. Bagi persawahan yang  terletak disekitar kota, dibuatnya juga satu danau buatan yang disebut Tasikardi. Air dari Sungai Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini. Lalu dari sana dibagi ke daerah-daerah persawahan di sektarnya. Tasikardi juga digunakan bagi penampungan air bersih bagi kebutuhan kota. Dengan melalui pipa-pipa yang terbuat dari terakota (gorong-gorong, gerabah dari tanah liat), setelah dibersihkan/diendapkan air tersebut dialirkan ke keraton dan tempat-tempat lain di dalam kota. Di tengah-tengah danau buatan tersebut terdapat pulau kecil yang digunakan untuk tempat rekreasi keluarga keraton.

Dari permaisuri Ratu Hadijah, Maulana Yusuf mempunyai dua orang anak yaitu Ratu Winaon dan Pangeran Muhammad. Sedangkan dari istri-istri lainnya, baginda dikaruniai anak antara lain: Pangeran Upapati, Pangeran Dikara, Pangeran Mandalika atau Pangeran Padalina, Pangeran Aria Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Seminingrat, Pangeran Dikara, Ratu Demang atau Ratu Demak, Ratu Pacatanda atau Ratu Mancatanda, Ratu Rangga, Ratu Manis, Ratu Wiyos dan Ratu Balimbing.

Pada tahun 1580, Maulana yusuf mangkat dan kemudian dimakamkan di Pekalangan Gede dekat Kampung Kasunyatan. Setelah meninggalnya, Maulana Yusuf diberi gelar Pangeran Panembahan Pekalangan Gede. Dan sebagai penggantinya diangkatlah puteranya yang bernama Pangeran  Muhammad.

Maulana Yusuf mendapat gelar Panembahan Yusuf, menjadi penguasa Surasowan Wahanten selama 10 tahun, dari tahun 1492 Saka (1570 Masehi), hingga tahun 1502 Saka ((1580 Masehi), beristri Permaisuri Nyi Mas Ratu Ayu Siti Hadijah binti Syekh Tubagus Abdurrozak bin Syekh Tubagus Muhammad Soleh bin Syekh Tubagus Abdurrahman (Gunung Santri) berputera:

  1. Ratu Winahon
  2. Pangeran Muhammad

Dari istri yang lainnya, beliau mempunyai putra-putri diantaranya:
  1. Pangeran Arya Upapati
  2. Pangeran Arya Adikara
  3. Pangeran Arya Mandalika
  4. Pangeran Arya Ranamanggala
  5. Pangeran Arya Seminingrat
  6. Ratu Demang
  7. Ratu Pecatanda
  8. Ratu Rangga
  9. Ratu Ayu Wiyos
  10. Ratu Manis
  11. Pangeran Manduraraja
  12. Pangeran widara
  13. Ratu Belimbing

Rabu, 02 Januari 2013

Maulana Hasanuddin



Seorang Panembahan kelahiran Wahanten (Banten), beralur darah trah Rasul Muhammad, berbaur dengan alur darah trah Sri Baduga Maharaja, melalui ketawakalan dan perjuangan yang berat, akhirnya berhasil mendirikan monumen Islam yang kokoh di Bumi Wahanten. Sebagian besar penduduknya, menjadi pemeluk setia agama Rasul Muhammad.

Dari pernikahan Nyai Kawung Anten dengan Syarif Hidayat, pada tahun 1478 M., Sang Surasowan mempunyai cucu laki-laki. Oleh Sang Surasowan, bayi laki-laki itu diberi nama Sabakinkin. Oleh Syarif Hidayat, diberi nama Hasanuddin.

Ketika ayahanda Nyai Kawung Anten, Sang Surasowan, mertua Syekh Syarif Hidayat, kakeknya Pangeran Sabakinkin atau Maulana hasanuddin wafat, dalam usia terhitung muda, tahtanya diwariskan kepada putranya, Sang Arya Surajaya.

Pada masa pemerintahan Sang Surajaya di Wahanten Pesisir, Syarif Hidayat sudah menjadi pewaris kedua, di Kesultanan Pakungwati Cirebon. Oleh karena itu, Sabakinkin atau Hasanuddin, menjadi penerus ayahnya, menjadi Guru Agama Islam di Wahanten Pesisir. Pada waktu itu, Pangeran Sabakinkin, lebih dikenal dengan sebutan Syekh Maulana Hasanuddin.

Ketenaran Syekh Maulana Hasanuddin, telah mengalahkan kharisma uwanya, Adipati Arya Surajaya. Sehingga hubungan kekerabatan dengan uwanya itu, menjadi tidak harmonis lagi.

Ketika menjadi penyiar agama Islam di Wahanten Pesisir, Syekh Maulana Hasanuddin menikah dengan puteri raja Indrapura, serta memperoleh putera laki-laki, diberi nama Yusuf.

Untuk jaringan politik, antara Kesultanan Pakungwati Cirebon dengan Kesultanan Demak, Syekh Maulana Hasanuddin berjodoh dengan Ratu Ayu Kirana (Ratu Mas Purnamasidi), puteri sulung Raden Fatah. Dari perkawinannya, lahir pertama Ratu Winahon, kelak menjadi isteri Tubagus AngkeBupati Jayakarta (Jakarta). Putera kedua, Pangeran Arya (Pangeran Jepara), yang menjadi anak angkat Ratu Kalinyamat dari Jepara.

Di Wahanten Girang terjadi kekosongan pimpinan wilayah, ini dikarenakan Sang Adipati Surajaya beserta pengikutnya mendapat serbuan dari balatentara gabungan Pakungwati dan Demak, sehingga mengungsi kedaerah Bogor. Dan atas inisiatif Ki Bagus Molana, akhirnya Wahanten Girang bergabung dengan Wahanten Pesisir. Dengan demikian, Pangeran Sabakinkin Adipati Syekh Maulana Hasanuddin, berkuasa atas dua wilayah kerajaan: Wahanten Pasisir dan Wahanten Girang. Akhirnya Pangeran Sabakinkin dinobatkan kembali, dan memperoleh gelar Panembahan. Pengertian Panembahan, adalah tokoh ulama besar Islam yang sangat dihormati, merangkap jadi penguasa.

Pada tahun 1570 M. Panembahan Syekh Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakinkin wafat, meninggalkan para putra dan putri:
  1. Ratu Pembayun Fatimah
  2. Pangeran Yusuf (Maulana Yusuf)
  3. Pangeran Jagaraksa/Arya Japara
  4. Pangeran Sunyararas
  5. Pangeran Pajajaran
  6. Pangeran Pringgalaya
  7. Pangeran Sabrang Lor
  8. Ratu Keben
  9. Ratu Terpater
  10. Ratu Biru
  11. Ratu Ayu Arsanengah
  12. Pangeran Pajajaran Wado
  13. Tumenggung Wilatikta
  14. Ratu Ayu Kamudarage
  15. Pangeran Sabrang Wetan



Senin, 31 Desember 2012

Maulana Syarif Hidayatullah





Dari perkawinannya Syarif Abdullah dengan Syarifah Muda'im (Nyai Larasantang), mempunyai anak dua orang, di antaranya masing-masing ialah: Syarif Hidayat lahir pada tahun 1370 Saka (1448 Masehi). dan Syarif Nurullah namanya.

Sesudah Syarif Hidayat menjadi pemuda, baru berusia dua puluh tahun, bersikap saleh dan ingin menjadi guru agama islam. Oleh karena itu pergi dari Mekah. Di sana berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri, lamanya dua tahun. Pada waktu itulah, dari Syekh Athoillah as-Sakandary as-Syadzili, ia mengetahui nama anutan madzhab Imam Syafi'i. Selesai dua tahun.

Selanjutnya pergi ke kota Bagdad. Di sana berguru tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara ayahnya. Selanjutnya pulang ke negeri Mesir. Syarif Hidayat sudah mendapatkan banyak nama, yaitu Sayid Kamil, Syekh Nuruddin Ibrahim ibnu Maulana Sultan Mahmud al-Khibti nama lainnya.

Kemudian Syarif Hidayat pergi ke Pulau Jawa. Dalam perjalanannya, singgah di Gujarat. Tinggal lamanya di sana tiga tahun.

Ketika singgah di Gujarat, Syarif Hidayat bertemu dengan Dipati Keling, bersama 98 anak buahnya, kemudian masuk agama Islam dan menjadi muridnya. Kemudian mereka berlayar bersama-sama, menuju Pulau Jawa.

Dalam perjalanan ke Pulau Jawa, singgah di negeri Pasai. Di sana Syarif Hidayat tinggal di Pesantren saudaranya, yaitu Sayid Ishak yang menjadi guru agama Islam di negeri Pasai, Sumatera. Di negeri Pasai ini, Syarif Hidayat tinggal selama dua tahun.

Selanjutnya Syarif Hidayat alias Sayid Kamil, singgah di Banten tepatnya di Banten pesisir, mengajarkan agama Islam di sana, berjodoh dengan puteri Adipati Banten, Nyai Kawung Anten. Alasan sesungguhnya Syarif Hidayat singgah di Banten ini ingin bertemu dengan Ali Rakhmatullah.

Setelah ada habar bahwa yang bersangkutan berada di lain tempat, maka Syarif Hidayat pergi ke Ampel, naik perahu orang jawa timur. Pada waktu itu para Wali ada di sana, masing-masing mengemban tugas yang di amanatkan.

Syarif Hidayat bersilaturahmi dan berkenalan dengan para Wali yang berada di Jawa Timur. Selanjutnya, Syarif Hidayat atau Sayid Kamil bersama Dipati Keling dan anak buahnya, berlayar menuju Cirebon. Kunjungan ke Cirebon ini dalam rangka untuk mengunjungi uwanya (kakak ibunya), Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, penguasa Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon.

Di sini Syarif Hidayat menemui uwanya, dan alangkah sukacitanya Sri Mangana, ketika di temui oleh anak adiknya (suwannya) itu.

Begitu pula Syarif Hidayat sangat gembira, dapat bertemu dengan uwanya yang telah berhasil mendirikan Kerajaan Islam pertama, di Kerajaan Sunda. Akhirnya Syarif Hidayat bersama bersama Dipati Keling serta 98 anak buahnya, di tempatkan di Giri Sembung Amparan Jati (Gunung Jati). Syarif Hidayat di beri jabatan sebagai Guru Agama Islam di Pondok Quro Amparan Jati, sebagai pengganti Syekh Datuk Kahfi. Syarif Hidayat berjodoh dengan kakak sepupunya, Nyai Mas Pakungwati.

Di Giri Sembung, Syarif Hidayat disebut Maulana Jati atau Syekh Jati sebutan lainnya. Selanjutnya mengelola pesantren itu. Setelah beberapa lama kemudian, semua penduduk berguru kepada Sayid Kamil. Adapun Syarif Hidayat, yaitu Sayid Kamil, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Susuhunan Jati atau Sunan Cirebon nama lainnya. Sembilan tahun sudah ia berada di Pulau Jawa.

Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, mempunyai penilaian tersendiri kepada Syarif Hidayat. Demi untuk kepentingan penyebaran Islam, Sang Tumenggung mewariskan tahtanya, kepada suwan yang sekaligus menantunya, Syarif Hidayat.

Syarif Hidayat dilantik menjadi Raja Cirebon oleh uwanya Pangeran Cakrabuana, sebagai Tumenggung Kerajaan Cirebon, dengan gelar Susuhunan Jati.

Syarif Hidayat menjadi raja mahardika, memerdekakan diri dari naungan Sunda Pajajaran di bumi Jawa Barat. Pada waktu itu, para Wali Sanga di Jawa Timur, menyambut gembira menyerukan pujian atas penobatannya, dan semua memberikan dukungan.

Semua pimpinan masyarakat desa di Cirebon sangatlah sukacita. Pejabat penguasa daerah, pesta meriah, mengadakan syukuran di Paseban Keraton Pakungwati.

Untuk mengukuhkan penobatan Susuhunan Jati, dilakukan oleh para Wali dari Jawa Timur, yang dihadiri pula oleh Raden Fatah sebagai Sultan Demak. Mereka hadir di Keraton Pakungwati Cirebon, disertai armada laut dan balatentara Kesultanan Demak, yang dipimpin oleh Panglima Fadhillah Khan.

Kemudian Wali Sanga menganugrahi gelar kekuasaan kepada Susuhunan Jati menjadi Panetep Panatagama rat Sunda i Bhumi Jawa Kulwan (Panetep Panatagama kawasan Sunda di Bumi Jawa Barat) berkedudukan di negeri Cirebon.

Karena tanpa persetujuan pemerintahan pusat (Pakuan Pajajaran), Sri Baduga Maharaja mengutus Tumenggung Jagabaya bersama pasukan pengawalnya, untuk menertibkan dan mengatasi keadaan di Cirebon.

Ketika Tumenggung Jagabaya beserta pasukan pengawalnya tiba di Cirebon, mereka disergap di Gunung Sembung oleh pasukan gabungan Cirebon-Demak yang dipimpin oleh Senapati Demak Fadhillah Khan. Tumenggung Jagabaya dan pasukan pengawalnya, akhirnya masuk agama Islam.

Karena Tumenggung Jagabaya serta pasukan pengawalny, lama tidak kembali ke Pakuan, Sri Baduga Maharaja segera mempersiapkan angkatan perang besar Kerajaan Sunda Pajajaran. Akan tetapi, niatnya untuk menyerang Pakungwati Cirebon, dapat dicegah oleh penasihatnya Ki Purwagalih.

Ki Purwagalih mengungatkan kepada Prabu Siliwangi, bahwa:
Syarif Hidayat, adalah cucunya sendiri dari Larasantang.
Syarif Hidayat, adalah menantu Walangsungsang, atas pernikahannya dengan Pakungwati.
Penobatan awal Syarif Hidayat, atas kehendak Pangeran Cakrabuana, puteranya sendiri.

"Betapa tidak terpujinya, Sang Kakek memerangi cucunya," Inilah yang dinasihatkan oleh Ki Purwagalih kepada Sri Baduga Maharaja.

Syekh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayat, berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka. Di makamkan di Cirebon tepatnya di Gunung Sembung/Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat pada usia 120 tahun.

Beliau mempunyai beberapa istri diantaranya:
  1. Nyai Kawunganten puteri Sang Surasowan (Bupati Banten dari Pajajaran, yang berada di Banten Pesisir) atau adik Sang Surajaya, menikah sekitar pada tahun 1470-1480 Masehi dan berputera: Ratu Wulung Ayu/Ratu Winangon yang lahir tahun 1477 Masehi & Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakinkin, lahir 1478 Masehi.
  2. Dewi Pakungwati, puteri Walangsungsang (uwanya Syekh Syarif Hidayat) alias Ki Samadullah atau Ki Cakrabumi atau Haji Abdullah Iman atau Sri Mangana Pangeran Cakrabuana dengan Nyai Indang Geulis puteri Ki Danuwarsih.
  3. Nyai Babadan berputra Pangeran Turusmi.
  4. Syarifah Baghdad atau Syarifah Fatimah, puteri Syekh Datuk Kahfi dari istri bernama Khadijah, berputera: Pangeran Jaya Lelana/Pangeran Jaya Kelana – Lahir 1486 Masehi & Pangeran Bratakelana – Lahir 1490 Masehi.
  5. Nyai Gedeng Tepasan berputra Pangeran Pasarean atau Pangeran Muhammad Arifin, Nyai Ratu Ayu – Lahir 1493 Masehi & Ratu Wanawati Raras – Lahir 1525 Masehi.
  6. Tien Nio Ong/Ong Tien/Nyai Rara Sumanding mempunyai keturunan namun telah meninggal waktu bayi  – Lahir 1498 Masehi.


Para Putera-puteri:
  1. Ratu Ayu Pembayun bersuami Fadhilah Khan.
  2. Pangeran Pasarean atau Pangeran Muhammad Arifin dari istri bernama Nyai Gedeng Tepasan, beristri dengan Ratu Nyawa atau Ratu Ayu Wulan, janda mendiang Pangeran Bratakelana, berputera Pangeran Suwarga.
  3. Pangeran Jaya Lelana.
  4. Maulana Hasanuddin.
  5. Pangeran Bratakelana menikah dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan).
  6. Ratu Winangon/Ratu Wulung Ayu.
  7. Pangeran Turusmi.


Rabu, 22 Februari 2012

Gentong Cikadueun




Gentong Cikadueun
Tempat Gentong  di Cikadueun
Gentong Pusaka, Gentong Wasiat

Adalah tempat penampungan air untuk orang minum selagi kehausan di tempat ziarah. Asalnya gentong ini, sebagaimana di ceritakan oleh tokoh tua di kampung Cikadueun dan menyambung rantai silsilah keturunan pada yang mula mengurus tempat pemakaman astana Cikadueun yaitu dari kuncen (juru kunci) Kiai Haji Ya'qub, seorang keturunan yang kesepuluh dari Uyut Manshur ini menceritakan bahwa, sebenarnya banyak gentong ini pada era tahun 1880an, bahkan sebegitu banyaknya gentong ini bisa disaksikan di tempat penyimpanan barang-barang purbakala di musium Banten Masjid Agung. Namun sayangnya orang terlanjur percaya bahwa gentong ini tiada saatnya (kosong, ..Sunda), padahal isi gentong yang kemudian hari disebut Gentong Pusaka atau Gentong Wasiat atau apa lagi sebutannya ini tiada mungkin kosong, karena setiap saat dipenuhi terus oleh orang yang diberikan tugas untuk mengisinya. Dan untuk itu seseorang yang mendapat tugas 'minuhan' gentong, akan hilir mudik mengambil air dari sumber dibawahnya sekitar 500M. dari atas. Dan pikulan-pikulan ini kadang seharian dilakukannya hanya sekedar untuk membuat penuh gentong ini. Dan bila disebut Gentong Wasiat bisa jadi sebutan itu ada, sebab mengambil air gentong ini dari sumber air namanya Sumur Wasiat.

Selasa, 01 November 2011

Sumur Wasiat




Sumur Wasiat
Sumur Wasiat atau lebih dikenal dengan sebutan sumur Pusaka Wali adalah sumber air yang melimpah tiada kurang debitnya, mengalir deras walau musim kemarau panjang sekalipun. Melihat karakteristik air ini, amat jernih dan rasanya beda dari air sumber yang lain. Ada yang bilang rasanya seperti air zamzam, tidak sedikit pula yang mengatakan air sumur Wasiat ini megandung molekul air yang dibawah 0.2ph. Artinya kadar kandungan air ini amat mendekati air netral sehingga seorang ilmuan yang pernah menganalisanya menyimpulkan, air Sumur Wasiat ini bisa dikonsumsi langsung tanpa dimasak terlebih dahulu.

Mengingat pernyataan seorang ilmuan tadi yang memberikan kesimpulan bahwa air ini murni kadar molekulnya, mengisaratkan ada kebiasaan orang langsung minum dari sumber air ini atau minum air yang disediakan ditempat ziarah dalam Gentong Pusaka di Astana Cikadueun, sehabis meminumnya tiada merasakan sakit diperut sedikit pun. Beda dengan air yang diambil dari tempat yang lain, jika kadar molekulnya lebih tinggi dari 0,2ph.

Suatu anugrah dari Yang Maha Kuasa memang, masyarakat sekitar merasakan banyak manfaat dari keberadaan air Sumur Wasiat. Disekitar tahun 1970an hingga tahun 1980, diatas sumur ada pohon menjulang tinggi dinamakan pohon "Karoya" semacam pohon yang membelit pohon "Binglu" dan kelihatan seperti seekor ular raksasa membelit kapal terbang.

Bukan dongeng dan cerita legenda, bahwa sebab masih melimpahnya air wasiat kala itu, menandakan masih subur dan mahmurnya warga akan air untuk MCK, karena sehabis di tebang pohon tadi, kurang dari sepuluh tahun kedepan warga harus membuat sumur masing-masing di dalam rumahnya, akibat dari berkurangnya debit air. 

Kamis, 02 Desember 2010

Asal Silsilah Syekh Manshur Cikadueun




 
Pasang Widget Blogger Cikadueun Di Blog
Widget Blogger Cikadueun